08. Cekcok

2.4K 321 55
                                    

Hujan sebenarnya tak datang sore ini. Warna kemerah-merahan nan menawan di atas kepala menandakan matahari hampir terbenam, menjadi saksi bahwa hujan mustahil untuk datang.

Kendati cuaca begitu cerah, entah mengapa perasaan hati terasa begitu mendung untukku. Jantung berdetak begitu kencang membuat rasa nyeri menyeruak ke seluruh tubuhku. Tungkai tak sanggup bergerak, untuk turun dari bus saja perlu membuat supir bus mengomel dan mendesak untuk segera turun dari bus yang kutumpangi. Pikiranku sedang tidak waras sore ini.

Jika ingin menyalahkan, seharusnya kusalahkan ucapan Dokter Jung tadi. Seharusnya aku tak perlu serta-merta tertarik kala diajak berbicara oleh dokter cantik jelita itu. Jika saja rasa penasaranku pada Dokter Jung tidak terlalu mendalam, mungkin aku menolak mentah-mentah ajakan minum cokelat panas di kantin rumah sakit.

Jongin pun begitu. Dia yang menjadi alasan utama mengapa perasaan hati berantakan sore ini.

Bukan. Sepenuhnya bukan karena ketidakjujurannya, tapi kenyataan ia yang seperti itu, memporak-porandakan pikiranku.

Itulah mengapa aku selalu mengatakan Jongin mempunyai alasan lain mengapa ia harus menyimpan rahasianya dariku. Barangkali Jongin tidak ingin membuat perasaanku tak karuan seperti saat ini.

Meskipun begitu, sejatinya Jongin salah besar. Jika aku mengetahui rahasianya dari orang lain, itu yang sebenarnya membuatku kecewa. Sebesar apa pun rahasia itu.

"Apa-apaan ini? Kenapa dia bisa tahu kode pengaman rumahmu?" Ha Sungwoon, sahabat Jongin sejak sekolah menengah pertama, sedang berkunjung kala aku datang memasuki rumah Jongin. "Kalian berpacaran?"

Jongin tergelak lantas menggeleng. "Tidak. Dia senang dengan seorang Jaksa. Bagaimana mungkin dia mau denganku?"

"Ew, kau kan juga mantan jaksa, Jong." Sungwoon berkomentar.

"Um! Aku pun benci lelaki yang tak jujur! Aku tak mau jadi pacarnya!" Aku mencebik, menatap Jongin dengan tatapan kesal.

Dalam sekejap Jongin bisa membaca jika ada yang salah denganku, itu begitu tampak dari tatapan tajam mata elangnya. Akan tetapi, dia tak serta-merta bertanya, barangkali karena ada Sungwoon yang sedang bertamu.

"Wah, kalian bertengkar?" tanya Sungwoon mencairkan keadaan, mungkin acara tatap-menatap kami begitu menakutkan sehingga perlu penenang.

Aku tak menjawab, hanya menundukkan kepala berpamitan pada Sungwoon dan lantas naik ke lantai atas rumah Jongin. Aku tak mau mengganggu perbincangan mereka.

"Dia kenapa? Kau berbuat salah? Dan terlebih lagi, apa kau sudah menyatakannya?" Begitu yang samar terdengar dari bibir Sungwoon sebelum aku berhasil memasuki kamar Jongin.

Sungwoon memang jarang datang untuk berkunjung karena usaha restonya yang berkembang pesat. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan untuk Jongin bercerita tentang kami padanya. Ha Sungwoon adalah orang bukan keluarga yang Jongin percayai setelah Park Chanyeol.

Aku menghela napas berat, lantas menghempas begitu saja tubuhku di ranjang Jongin. Langit-langit kamar Jongin tampak indah. Lelaki itu mendekorasi dengan pemandangan langit malam penuh bintang. Jongin gemar dengan hal-hal yang berhubungan dengan langit dan bintang-bintang. Ayah Jongin bahkan menghadiahkan sebuah teleskop mahal untuknya saat berulang tahun yang ke tiga belas. Jongin masih meletakkannya di dekat jendela kamar.

Bukan foto ayah atau kakek yang terpajang di belakang meja kerjanya, alih-alih fotonya bersama boneka beruang kesukaan yang kuhadiahkan untuknya di hari ulang tahun yang kedua puluh.

Manga dan manhwa tersusun rapi di rak tinggi dekat ranjang, beberapa buku tentang hukum dan seni tari juga tertata di sana. Dia begitu menyukai beruang, sehingga beberapa jenis aksesoris beruang tertata rapi di seluruh sudut kamarnya.

First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang