18. Orang Ketiga

1.6K 255 107
                                    

Aku tersentak, mata mengerjap, dan tubuh menggeliat memaksa diri untuk tersadar dari lelapku. Badan terasa begitu pegal kendati aku tak melakukan hal berat semalaman. Hanya langkah gontai yang menemani setelah keluar dari ruangan Dokter Jung. Lantas, semua waktu kuhabiskan di samping Jongin untuk menunggunya tersadar.

Belum sepenuhnya tersadar kala aku mengangkat tubuhku untuk bangun. Akan tetapi, mata mendelik dan tergemap menangkap sekeliling. Tidak ada lagi Jongin di atas ranjang kamar rawat inap. Ibu dan Ayah pun tidak terlihat di mana-mana.

"JONGIN! KIM JONGIN!" Sontak aku berseru. Terburu-buru beranjak dan berlari keluar kamar untuk melapor. Kecemasanku bahkan belum reda akan Jongin yang tak tersadar sejak keadaan kritisnya semalam. Keterkejutan macam apa lagi yang kudapat ketika membuka mata.

Langkah terburu-buruku kemudian terhenti tepat di depan pintu masuk kamar rawat inap Jongin. Mata membeliak menatap ia yang tersenyum di atas kursi beroda, pula kekasih yang mendorong di belakang punggung.

"Kau sudah bangun? Aku dan Chanyeol hanya berkeliling di taman rumah sakit sebentar, menghirup udara pagi."

Jika boleh jujur, sungguh kesal dengan tampang yang tersenyum itu. Dia bahkan tak berpikir sama sekali jika dada begitu berdegup kencang lantaran rasa khawatir yang berlebihan. Namun, Kim Jongin tetap santai dengan senyum di wajah yang pucat.

Ingin menjawab, ingin menghardik, dan ingin memekik kencang menyalahkan Jongin, jika saja Dokter Jung tidak datang mendekati bersama beberapa perawat.

"Jongin ssi, Anda harus melakukan beberapa pemeriksaan," ucap Dokter Jung lantas membawa Jongin dan kursi rodanya menjauhi kami. Tak lupa dokter cantik itu menundukkan kepala sebelum membawa Jongin menuju ruang pemeriksaan.

Kurasakan kedua tangan Chanyeol mengusap bahuku, berupaya menenangkan sembari mengajak duduk di bangku tunggu di depan ruang rawat inap Jongin.

"Kau belum makan sejak kemarin. Kubelikan samgak kimbap untuk mengganjal perutmu." Chanyeol memberikan sebuah kantong plastik kecil yang berisi tiga buah samgak kimbap pula minuman susu cokelat kaleng yang sudah dihangatkan. Aku menerima cuma-cuma lantaran perut memang terasa begitu lapar.

"Chanyeol ssi tidak pergi bekerja?" tanyaku sembari mengunyah kimbap pemberian Chanyeol.

"Aku akan pergi sebentar lagi. Aku hanya memastikan Jongin dan kau baik-baik saja," jawab Chanyeol sembari membukakan kaleng susu hangat itu untuk diriku.

"Semalam kau mengatakan ingin bertanya sesuatu."

Aku melirik kekasihku. Aku hampir melupakan, padahal langkah gontai setelah bertemu Dokter Jung semalam mengantarkanku kepada Chanyeol untuk bertanya tentang ia dan Jongin. Namun, aku tak bisa menahan Chanyeol yang terburu-buru harus pergi karena sebuah panggilan darurat dari kantornya semalam.

"Kau dan Jongin." Aku menghela napas sebelum kembali mulai berucap, "kurasa aku tak tahu apa-apa tentang kau dan Jongin."

Aku merebah punggung di sandaran bangku tunggu. "Jongin enggan membahas masa lalu dan aku tak pernah bertanya pada Chanyeol ssi akan apa yang terjadi padamu dan dirinya di masa lalu. Aku bahkan tak tahu jika Chanyeol ssi mendonorkan sumsum tulang pada Jongin." Senyumku terlihat tengil. Percaya saja, itu bukan sebuah senyum congkak, melainkan senyum miris menutupi kesedihan lantaran aku terlalu bodoh pula tak acuh selama ini.

Kudengar Chanyeol menghela napas dan ikut menyandarkan punggung pada bangku tunggu. "Tak banyak yang terjadi. Kami hanyalah teman sekamar yang pada awal bahkan tak saling bertegur sapa." Chanyeol tersenyum mengawali cerita.

"Jongin begitu tenar di kalangan mahasiswi di sekolah tinggi kami. Belum lagi ayahnya yang memiliki hotel berbintang lima dan usaha resort. Sedang aku ...." Chanyeol mengulum senyum tipis, menertawakan dirinya sendiri sebelum kembali melanjutkan cerita.

First Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang