Mata membelalak kala memasuki dapur rumah kami. Ibu terlihat ceria sembari menyiapkan makanan yang sudah cukup banyak di atas meja makan, beberapa di antaranya Ibu masukkan ke dalam wadah khusus.
"Ada perayaan apa?" tanyaku berkernyit sembari mencomot salah satu makanan di atas meja.
"Aigoo! Dasar pemalas! Sudah sesiang ini baru bangun! Lihat rambut dan wajahmu!" Ibu berdecak mengomentari dandananku.
Ini hari minggu, wajar saja aku bermalasan. Lagi pula wajah yang sembab dan rambut berantakan dikarenakan oleh pikiranku yang kacau beberapa hari terakhir ini. Ibu tak mengerti bagaimana perasaan bimbang anak lelakinya ini.
"Jadi?" Malas merespons ejekan Ibu, aku menuntut jawaban atas pertanyaanku. Ibu jarang sekali memasak sebanyak ini jika tidak ada acara yang dilakukan.
"Kau lupa? Jongin pulang dari rumah sakit hari ini! Auh! Coba sana mandi! Lihat sisa air liurmu yang menetes. Kau jorok sekali!"
Lagi-lagi enggan merespon cacian Ibu, mata malah membeliak menangkap jawabannya.
Aku hampir lupa. Ini sudah hari kesembilan Jongin dirawat di rumah sakit. Dokter Jung sebenarnya tidak memperbolehkan pulang karena Jongin masih dalam pengawasan meskipun keadaannya membaik. Penolakan transplantasi sumsum tulang belakang yang terjadi setelah sekian lama ia melakukan operasi merupakan kasus bukan sepele. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi pada Jongin selanjutnya.
Namun, Jongin begitu keras kepala sehingga mau tak mau ia diperbolehkan pulang, dengan catatan dia harus rutin untuk melakukan kontrol dengan dokter yang menanganinya.
Ibu dan ayahnya yang tadinya sudah resmi untuk tinggal di kampung halaman saja untuk menemani neneknya di sana, kini memutuskan untuk tinggal kembali di Seoul, untuk menjaga Jongin.
Aku menghela napas. Kembali teringat pada keadaan hati yang bimbang.
Aku sudah menentukan pilihan, tetapi masih saja keraguan yang terselip begitu besar. Aku sadar, jika pilihanku akan menyakiti banyak orang.
"Bu?" Mengabaikan suruhan Ibu untuk mandi, aku malah ingin mengajaknya mendengar curahan hatiku.
"Eum?"
"Aku sudah menentukan pilihan," ucapku membuat kernyit di dahi Ibu tampak. Dia melirik, tampangnya menunjukkan ia menuntut kejelasan.
Aku tersenyum kecil. "Bukankah Ibu bilang aku tak boleh mempermainkan hati dua lelaki? Sekarang aku memiliki jawabannya."
Kernyit di dahi Ibu sekelebat berubah menjadi bola matanya yang membulat. Aku tahu wajahnya menjadi khawatir. Aku tahu apa yang ia pikirkan persis sama dengan pilihanku yang mengkhawatirkan semua orang.
"Aku mencintai Jongin, Bu." Bukan kata menyukai yang kupilih. Aku lebih menegaskan dengan kata mencintai Jongin.
Ibu bergeming, tangan yang membereskan makanan bahkan terhenti begitu saja. Mata tajam itu terus menatap penuh kekhawatiran.
Aku menghela napas berat. "Aku tahu Ibu khawatir. Terlebih, kita tak tahu apa yang akan terjadi pada Jongin. Aku bahkan tahu, Ibu tak mau jika nasibku akan sama seperti Ibu yang ditinggalkan Ayah terlalu cepat. Akan tetapi, Bu ...."
Aku menghelas napas resah. Barangkali pilihanku salah, barangkali pilihanku menyakiti Ibu, tetapi aku tidak bisa membohongi hatiku lagi.
"Aku bisa menaruh rasaku pada Chanyeol, tetapi semua itu akan sirna seketika oleh kehadiran Jongin, lagi dan lagi. Aku bahkan sudah bersumpah akan menjadi kekasih yang baik untuk Chanyeol, tetapi nyatanya, aku masih menginginkan Jongin. Bu, kumohon mengerti diriku. Aku ingin dari banyak orang yang mungkin menentang, aku ingin Ibu mendukungku. Aku ingin Jongin, Bu." Aku berucap frustrasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
Fanfiction[COMPLETED] (21+) Boys Love Bukan Do Kyungsoo jika ia mempercayai frasa cinta pertama. Baginya, cinta pertama akan sirna begitu saja seiring waktu berjalan. Namun, matra cinta pertama berulah manakala Kim Jongin, teman masa kecil Kyungsoo...