Blood and Tears#14

18 2 3
                                    

Bring the pain with no fear
-On

20.35

Gadis berparas ayu tengah asik membaca novel dari pengarang favoritenya bangkit dan meletakkan benda di tangan mungilnya pada sebuah meja kaca modern senada dengan interior tiap ruangan yang terdapat di dalam rumah terbilang cukup mewah itu.

Daisyara menatap Reihan heran, rasa keingin tahuannya tak bisa dibendung lagi. "Kak Reihan mau kemana?"

"Bukan urusan lo." Jawab Reihan ketus.

"Rei ini udah malem, j-jangan keluar lagi. K-kalo Reihan keluar, Ara sama s-siapa? Ara takut s-sendirian. Jangan pergi,"

"Ada hak apa lo ngatur gue boleh pergi atau engga hm?" Ucap Reihan setelah berhasil menepis tangan gadis yang tingginya tepat berada tepat di bahunya.

"E-eh, bukan gitu Rei. Kalau di rumah ada orang yang temenin, Ara ga akan tanya Reihan. Tapi sekarang kan-" Daisyara menggantungkan ucapannya setelah berhasil menangkap ekspresi Reihan yang kesal karena rahangnya mulai mengetat.

"Masalahnya gua ga peduli," Reihan bergerak membuka pintu, ia tak peduli akan permohonan Daisyara.

Namun tubuh Reihan kembali menegang ketika gadis keras kepala itu memutuskan sesuatu, "Yaudah kalo gitu Ara ikut!"

Reihan memutar tubuhnya 180 derajat, ia menatap punggung Daisyara yang menaiki tangga dengan langkah tergesa-gesa setelah berhasil menahan Reihan untuk menunggunya mengganti pakaian yang lebih pantas karena sebelumnya ia hanya menggunakan piyama merah muda dengan hiasan biskuit bertabur chocochips.

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya Daisyara kembali dengan highwaist jeans dan kemeja putih bergaris vertical berlengan pendek yang berhasil membuat Reihan tersenyum mengejek seolah selera fashion gadis dihadapannya sangatlah rendah.

"Ck! Lo salah tempat kalo outfitnya gini. Bodoh." Reihan melenggang lebih dulu, Daisyara mengekor dibelakang sambil menilai kembali pakaiannya. Menurutnya inilah yang namanya fashion.

Perjalanan tampak menegangkan, Reihan fokus menyetir sedangkan Daisyara sibuk mengontrol jantungnya. Menurutnya, Reihan termasuk manusia tidak peka karena dari tadi gadis itu meringkuk di tempat dan ketakutan karena Reihan tak kunjung menurunkan kecepatan mobilnya. Daisyara sempat mengeluh kepada Reihan, katanya ini adalah mobilnya jadi ia bebas melakukan apapun yang ia suka.

Nichol sempat menceritakan betapa mandirinya dan rendah hati Reihan yang dingin itu. Ia memuji anaknya tanpa celah dan sampai sekarang yang Daisyara temukan hanyalah sikap dingin dan kejamnya Reihan.

Tak heran jika Reihan bebas melakukan apapun sesuai keinginannya, asalkan tetap menjaga batasan bagi remaja seusianya. Bahkan setiap akhir pekan Reihan akan pergi ke kantor untuk menggantikan posisi ayahnya. Hasil dari kegiatan Reihan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Kata Nichol itu adalah langkah awal untuk membuat Reihan terbiasa dengan dunia bisnis.

Jadi tak heran jika Reihan itu sombong dengan apa yang dimilikinya karena bagaimana pun itu hasil jerih payahnya. Setuju saja jika sombong itu diperlukan sebagai bentuk apresiasi diri sendiri.

Perjalanan terasa begitu panjang, kelopak mata gadis berambut hitam legam itu terasa sangat berat, perlahan tapi pasti ia menutup matanya dan beralih pada dunia mimpi.

Setelah puas mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, Reihan menempatkan mobil putih susunya tepat di sebuah bar dimana ia menumpahkan segala keluh kesah sambil meneguk minuman yang pas untuk menemaninya. Reihan tak memiliki minuman favorite, ia memesan apapun sesuai keinginannya saat itu juga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AFFECTION [Edit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang