Surat

736 67 0
                                    

Airya mengerang tertahan, frustasi. Sudah dua jam ia berkutat pada buku yang sama. Tetap saja nihil.

   Pada akhirnya, ia menutup buku itu dan mengembalikannya ke tempat semula.

   Gadis cepak itu menghela napas pelan, lalu melipat kedua tangannya di atas meja dan menenggelamkan wajahnya. Mencoba untuk tidur, tentu saja. Benaknya sudah terlalu pusing untuk memikirkan isi surat itu.

   Klik.

   Bunyi itu membuyarkan Airya yang mencoba terlelap. Ia menengadahkan wajahnya, lalu menoleh ke sekitar. Sekilas tak ada apa-apa.

   Brak!

   Bunyi lain terdengar dari arah samping. Kini, Airya mencoba untuk bangkit. Pandangannya menyebar ke seluruh penjuru.

   Krak!

   "Ada apa, sih?" kali ini, ia langsung berjalan cepat menuju sisi kanannya. Tempat berdirinya rak-rak berisikan buku tahunan sekolah.

   Siluet seseorang bertopeng memenuhi pandangan Airya. Dilihat dari perawakannya, sepertinya orang itu laki-laki.

   "Who's there?" tanya Airya, memasang sikap waspada.

   Orang itu tampak terkejut, kemudian menghentikan kegiatannya mengukir tanda besar di salah satu rak. Bersiap lari, sebelum Airya mendekat ke arahnya.

   Tapi, bukan Airya namanya kalau menyerah begitu saja. Dengan gerakan cepat tanpa suara, ia berusaha meraih orang tersebut, dan tentu saja berhasil.

   Orang itu memberontak. Dia mengeluarkan pisau yang tadi digunakannya untuk mengukir, dan menodongkannya tepat ke depan wajah Airya. Sinyal yang menyuruh Airya mundur.

   Airya mengurungkan niatnya membuka topeng orang itu. Sebenarnya, bisa saja ia melumpuhkan orang itu dengan satu gerakan. Tapi, kini ia sadar akan situasi dan kondisi.

   Airya lebih memilih pergi dari sana dan menuju salah satu rak tempat ia menemukan orang tadi. Menelisik ukiran yang sudah setengah jadi itu.

   "X?" gumamnya, "dasar tidak kreatif. Mencoba menakut-nakuti dengan tanda seperti di film-film? Ide konyol."

   Airya tersenyum miring, kemudian berbalik arah setelah melihat jam dinding yang menunjukkan waktunya istirahat kedua. Sebelum itu, tentu ia memotret terlebih dahulu tanda itu.

   "Anggap saja bukti pertama yang kutemukan." ujarnya, seraya menyelipkan ponselnya ke dalan saku. "Atau bukti kedua?"

***

"Ryanna! Kemana saja kamu, huh?" pekik Airyna ketika dirinya melihat presensi Airya saat istirahat kedua. Setelah bolos, adiknya itu kembali muncul ke kelas saat ini.

   "Urgh, sepertinya aku sedikit risi dengan nama Ryanna." sahut Airya, "Kau tahu? Rasanya seperti dihujami memori masa lalu."

   Airyna mengangkat bahu, kemudian berucap pelan. "Yah, mau bagaimana lagi? Kita sedang menyamar."

   Keduanya diam, larut dalam pikiran masing-masing.

   "Kalau dipikir-pikir lagi, adakah seorang ibu yang sekejam Mama?" cetus Airya tiba-tiba dengan mata terpejam.

   Airyna spontan saja menoleh, menatap adiknya yang sedang menikmati suasana kelas. "Entahlah. Mungkin ada, walaupun sangat kecil kemungkinannya."

   "Tapi, dilihat dari sisi mana pun, pantaskah seorang ibu membunuh anak-anaknya? Wajarkah seorang ibu menyiksa darah dagingnya sendiri?" tanya Airya lagi, merasakan luka yang kembali terkuak.

The Agents ; ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang