Epilog

615 59 3
                                    

Suasananya sekarang sudah lebih baik esok harinya.

   Runi diduga telah mati karena mayatnya tidak ditemukan. Raya ditangkap dan dipenjara. Azriel mati karena peluru yang bersarang tepat di jantungnya. Dan Devi... Mengenai anak itu, sekarang ia tengah menderita depresi berat.

   Berdasarkan pengakuan Raya, Azriel adalah pembunuh bayaran yang dibayar sangat tinggi olehnya agar mau mengikuti rencananya.

   Sedangkan Devi, ia yang dasarnya menyukai Ariel berambisi untuk mendapatkan pujaannya. Kemudian, keinginan itu hampir pupus saat ia tahu Ariel dekat dengan Airya. Baru setelah itu, ia diprovokasi oleh Raya dengan iming-iming berpacaran dengan Ariel.

   Sedangkan Ariel sendiri, ia sedang menghadapi koma. Usaha bunuh dirinya gagal dan berdampak pada kehilangan terlalu banyak darah. Karena pada saat itu kondisinya memang tidak fit, jadilah ia seperti ini.

   Lalu Airya. Gadis itu sudah siuman setelah pingsan kemarin malam. Dan kini, ia masih berada di kamar rumah sakit sambil menunggu info dari Karin.

   "Oh, ya Ai. Kemarin saat aku dan Siska menjenguk Ariel, ibunya menitipkan ini untukmu." ujar Airyna yang menemani Airya.

   Airyna menyodorkan sebuah kotak berbungkus warna biru tua pada saudarinya itu.

   "Beliau bilang, sehari sebelum kejadian kemarin, Ariel membungkus sesuatu dan dititipkan pada ibunya. Ariel takut, kalau ia tak akan sempat memberikannya padamu." lanjut Airyna

   Airya mulai membuka kotak itu dengan hati-hati dan tetap waspada, atau paranoid? Ia takut dijebak, bisa saja kotak itu berisi bom, 'kan? pikirnya. Oh ayolah, itu hanya karena ia terlalu dipengaruhi film!

   Isinya sederhana. Hanya berisi sebuah kalung emas putih dengan desain simpel bermatakan batu ruby. Juga sebuah kertas yang terselip di dinding kotak. Segera saja ia menarik kertas itu dan mulai membaca tulisan yang tertera disana.

   Hai, Ryanna. Aku tahu nama aslimu, tapi aku lebih suka memanggilmu Ryanna. Entahlah, menurutku nama itu pas untukmu. Eh? Sudahlah, lupakan pembukaan yang tak bermakna ini.

   Airya terkekeh pelan, membuat raut Airyna yang memperhatikannya menjadi heran.

   Oh, ya. Kamu suka kalungnya? Maaf aku belum bisa memberikan sesuatu yang mewah. Itupun aku menitipkannya pada ibu karena aku tak tahu sampai kapan nyawaku ada dalam raga untuk terus menemuimu.

   Satu hal yang paling penting dan menjadi inti dari apa yang kuberikan padamu. Aku sudah lama ingin mengatakan ini.

   Te amo, Ryanna. Kau tak perlu menjawab jika tidak punya perasaan yang sama denganku. Dan, kalung itu akan tetap menjadi milikmu walaupun kau menolakku.

   Terima kasih, Airya Aletta Kurniawan, atau yang kukenal dengan nama Ryanna.

Salam

Si Badung yang menyukaimu.

   Surat itu berhenti disana. Airya tertegun dengan pengakuan Ariel. Ia bergegas meminta tolong pada Airyna, untuk mengambilkannya kertas dan pulpen.

   Dengan cepat ia menorehkan tinta pada selembar kertas itu. Menuliskan balasan, yang mungkin akan ditunggu oleh Ariel.

***

4 hari kemudian...

   Seorang wanita paruh baya tertegun melihat pergerakan seseorang di atas ranjang rumah sakit itu. Sepersekian detik kemudian, wajahnya berubah sumringah ketika tahu anaknya mulai sadar, dan langsung memanggil dokter.

   Dokter datang. Memeriksa. Kemudian, ia beralih pada wanita paruh baya itu sambil memasang senyum tulus.

   "Pasien dinyatakan sadar dari koma. Kondisinya semakin membaik, dan sebentar lagi akan pulih dan kembali stabil." ucapnya, menambah kebahagiaan di wajah sang wanita.

   Dokter undur diri keluar, membiarkan wanita itu melepas rindu dengan anaknya yang baru sadar.

   "Ibu?" panggil sang anak.

   "Ya, ada apa sayang?" tanya si ibu seraya mengusap surai cokelat anaknya.

   "Apa ada yang sakit?" tanya ayahnya yang baru tiba di kamar itu.

   Pemuda yang ternyata Ariel itu menggeleng. Mengulas senyum simpul yang meneduhkan.

   Tiba-tiba, ibunya teringat sesuatu. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah amplop berwarna biru tua.

   "Dua hari yang lalu, ada seorang gadis yang menitipkan ini pada ibu saat menjengukmu. Ia berpesan, ini sebenarnya bukan surat penting. Jadi terserah apa kau mau membukanya atau tidak." papar si ibu.

   Tangan Ariel tergerak untuk mengambil surat itu dari tangan ibunya. Penasaran, ia langsung membukanya begitu ibu dan ayahnya memutuskan keluar kamar sebentar.

   Hai, Ariel. Sudah sembuh? Kuharap sudah.

   Aku tak ingin berbelit-belit di surat ini. Aku hanya ingin berterima kasih atas kalungmu dan juga... Perasaanmu. Aku amat terkejut dengan pengakuanmu.

   Disini aku hanya ingin berpesan, jaga dirimu baik-baik. Aku tak akan ada disisimu lagi, entah sampai kapan. Aku yakin, jika takdir berpihak kepada kita, kita pasti akan bertemu kembali. Pasti.

   Oh, Tuhan. Rasanya Ariel ingin terbang melawan gravitasi sekarang juga.

   Aku minta satu darimu. Jangan pernah bolos lagi, pikirkan masa depanmu jika nilaimu terus tidak layak dipandang seperti itu.

   Apa dia memang seperti itu? Setelah membuat orang sumringah, langsung dihujani lagi dengan sarkasme seperti ini?

   Kamu tahu? Aku sepertinya bisa merasakan hal yang sama denganmu.

   Oh tidak. Jantung Ariel kini berdetak lebih cepat dari biasanya.

   Jika kau menyatakannya dengan bahasa asing, aku pun akan menjawabnya dengan bahasa asing.

   Nado, saranghae.

Salam

Si Cuek yang menyayangimu.

     Ariel tanpa sadar tersenyum, sendiri. Membuat orang yang melihatnya pasti akan berpikir kalau pemuda ini sudah mulai gila. Ia cukup senang dengan apa yang dikatakan gadis pujaannya dalam surat itu.

   Ia mendekap surat itu, membiarkan angannya terbang jauh. Tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

***

TAMAT

  

The Agents ; ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang