Filsafat Buddha (Bagian 10)

159 8 3
                                    

Hak asasi manusia dalam pandangan ajaran Buddha

Secara singkat, hak asasi manusia merupakan suatu norma yang didefinisikan secara universal untuk melindungi seluruh manusia dari penyalahgunaan kekuasaan, hukum, dan tradisi. Contoh hak asasi manusia seperti: hak dalam kebebasan beragama, hak untuk hidup, hak untuk tidak mendapat siksaan, hak untuk terlibat dalam aktivitas politik, dan lain-lain. Dalam ajaran Buddha, tidak terdapat definisi pasti mengenai hak asasi manusia. Kata "hak" selalu menjadi kata yang asing jika diterjemahkan dalam bahasa yang terkait literatur ajaran Buddha. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti ajaran Buddha tidak mendukung konsepsi dari hak asasi manusia, bukan pula menandakan bahwasanya ajaran Buddha kekurangan konsep untuk menjelaskan istilah "hak asasi manusia". Melainkan perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap ajaran Buddha untuk mendapatkan pandangannya terhadap konsep hak asasi manusia. Pandangan ajaran Buddha terhadap hak asasi manusia jika dikaji lebih lanjut, tersatukan bersama konsep kewajiban dan pengakuan terhadap adanya dukkha. Kewajiban manusia dalam ajaran Buddha diatur melalui hukum karma. Melalui hukum ini, setiap individu bertanggung jawab terhadap perbuatan, perkataan dan pemikiran mereka, dan juga menerima konsekuensinya. Tersirat juga dari hukum karma bahwa setiap memiliki kebebasan untuk melakukan hal apapun namun dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan makhluk lainnya, karena akan membawa karma buruk yang berdampak pada diri sendiri.

Persepektif ajaran Buddha pada kesetaraan gender

Lukisan Pangeran Siddharta bersama bibi sekaligus ibu angkatnya Mahapajapati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lukisan Pangeran Siddharta bersama bibi sekaligus ibu angkatnya Mahapajapati

Meskipun dipandang sebagai ajaran dengan konsep egalitarianisme atau ajaran yang menekankan persamaan dalam segala aspek, ajaran Buddha dalam tradisi dan praktiknya masih mendapat kritik dalam hal kesetaraan gender; Termasuk di dalamnya mengenai dominasi kaum pria yang begitu mencolok di institusi keagamaan Buddha. Jika ditelisik melalui risalah yang berkaitan dengan ajaran Buddha, terdapat risalah yang menyatakan permintaan Mahapajapati Gotami, ibu angkat sekaligus bibi dari Sang Buddha Gautama, meminta kepada Sang Buddha untuk menjadi biarawati dan mempraktikan hidup sebagai petapa. Sang Buddha awalnya menolak, namun setelah dibujuk oleh Ananda keponakannya, akhirnya beliau menyetujui Mahapajapati untuk bergabung sebagai biarawati, namun dengan delapan aturan tambahan yang diberi nama gurudharm. Penerimaan Sang Buddha terhadap keinginan Mahajapati dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner pada masanya, karena pada masa itu wanita dianggap lebih rendah dari kaum lelaki dan dijauhkan dari aktivitas keagamaan. Sri Dhammananda dalam bukunya menyatakan bahwasannya, Sang Buddha merupakan guru spiritual pertama yang memberikan kebebasan berkeyakinan terhadap wanita, karena sebelum masa tersebut wanita bahkan tidak diperbolehkan untuk memasuki tempat ibadah atau membaca ayat-ayat keagamaan. Namun dalam kajian kontemporer, terdapat perdebatan mengenai delapan aturan tambahan yang diberikan Sang Buddha Gautama. Terdapat pendapat yang menilai aturan tersebut memuat poin yang mendiskriminasi wanita, terdapat juga pandangan yang menyatakan bahwa poin-poin tersebut disesuaikan pada masanya agar tidak timbul gejolak sosial yang besar, atau pandangan lainnya yang menyatakan poin-poin tersebut telah mengalami penyimpangan makna dari yang dimaksud pada awalnya

Filsafat, Ibu dari Ilmu pengetahuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang