Vashua menjalankan kursi rodanya sebisa mungkin agar segera menjauh dari ruangan sang kakak, dadanya naik turun tidak beraturan karena rasa kesal yang menggunung seketika membuat dadanya sesak.
Namun demikian perasaan hatinya seakan memaksa kerja otaknya agar terus menjauh, hingga dadanya terasa panas karena sesak juga sakit yang berdenyut di tangannya semakin menjadi.
Ada darah di tangannya, juga infus yang hampir lepas kembali di tangan satu nya.
Bagus Shua kalau tanganmu luka dua-duanya dimana lagi kau akan di infus.
Berhenti untuk sejenak, Shua menangis dengan menutupi wajahnya menggunakan dua tangannya, mengabaikan kesakitan hingga tubuhnya bergetar hebat, Shua perlu menumpahkan segala sesak dengan air matanya.
Memendam kekesalan yang tiada habisnya hanya menyakitinya hati ya lebih dalam lagi.
"Harusnya aku mati saja saat itu, agar Kak Yoza dan yang lainnya tidak harus hidup susah karena harus memperjuangkan kondisi ku yang buruk ini!"
Shua menangis lebih keras meratapi nasib buruk yang menimpanya, tanpa peduli lagi kalau kini dirinya sudah menjadi pusat perhatian beberapa orang yang lewat, mereka semua sedikit bersimpati tapi terlalu segan untuk mendekat karena takut kalau mereka hanya akan menganggu seorang pasien yang mungkin saja frustasi dengan keadaannya.
"Kenapa kau menyusahkan banyak orang!" Shua mengumpat pada dirinya sendiri, wajahnya memerah tapi tangannya dengan brutal memukul kuat kakinya yang tak merasakan apapun lagi.
"Kenapa Tuhan membiarkan ku hidup kalau hidup ku hanya untuk menjadi beban keluarga saja."
Menangis lebih kencang lagi, Shua sedikit merasa puas. Selama ini dia selalu diam, bukan karena berubah hanya untuk pelarian dari emosinya.
Karena Shua tidak yakin kalau mulutnya sudah berucap dia tidak akan bisa untuk tidak menyakiti orang lain.
"Shua, Astaga!" Panggil Henry.
Dari kejauhan Henry berseru sedikit kencang ketika berlari menjangkau adiknya yang lumayan jauh posisi nya.
Dari kejauhan dirinya sudah curiga dengan sosok yang sempat menjadi pusat perhatian pengunjung, tapi Henry cepat bertindak ketika dia mengenali adik kesayangannya itu dari postur tubuhnya.
Vashua tidak menanggapi kakak nya itu, masih saja menangis menutup hampir seluruh wajahnya menggunakan telapak tangannya yang lebar.
Henry berlutut mensejajarkan tubuhnya dengan Shua, meneliti lebih jelas keadaan adiknya. Beruntung Sen menghubungi nya tadi karena tau kalau Henry sudah sampai di rumah sakit.
Bukan tanpa maksud, Sen hanya berpendapat kalau seperti nya Henry lebih bisa di andalkan dalam situasi seperti ini.
Dirinya tentu tidak akan bisa membiarkan Yoza atau bahkan kedua adik nya yang lain untuk mengejar Shua.
Mereka semua tidak cukup ahli untuk mengatasi Macan yang sedang mengamuk itu.
"Ada apa dek?" Henry berusaha dengan lembut mencoba menarik perhatian dari Shua yang bahkan tidak peduli dengan kehadiran nya.
Pada akhirnya mendengar suara lembut itu Shua menurunkan kedua tangannya, menampilkan kedua matanya yang sembab hanya karena menangis.
Wajahnya memerah serta napas yang berantakan, nasal kanul nya bahkan sudah sedikit bergeser dari tempatnya membuat sesaknya semakin menjadi akibat dari oksigen yang tidak memenuhi paru parunya.
Henry membantu untuk membenarkan alat bantu napas adiknya itu namun Shua menepisnya dengan reflek yang cepat.
"Biarkan saja Kak, aku tidak perlu ini lagi." Ucap Shua lantang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Hole
Fanfictionini cuman kisah tentang Senandia, Yoza,Nirzam,Henry,Jeima, Vashua juga Jeca yang harus berjuang melawan perihnya kehidupan dunia.