Botol itu berputar kembali. Kali ini adalah putaran yang keempat. Pada putaran sebelumnya, benda itu berhasil membuat Hanif mengucapkan gombalannya pada seorang gadis, membuat Davan memberitahu siapa gadis yang ia suka, dan membuat Evan melakukan tantangan untuk mengerjai guru yang membuat cowok itu ada di ruang konseling sekarang.
Tersisa dua orang yang belum botol itu tunjuk. Dan sialnya, ini adalah putaran terakhir sehingga hanya satu dari kedua orang itu yang akan mendapatkan tantangan atau harus mengungkap kebenaran.
Botol itu masih terus berputar. Semakin lambat dan melambat sampai,
Brakk
Hanif menggebrak meja didepannya itu keras dengan senyuman lebarnya.
"Rayen," tunjuk Hanif saat botol itu berhenti dan menunjuk pada Hanif.
"Jadi, siapa yang bakal kasih pilihan?" tanya Davan.
Hanif kembali memutar botol itu untuk memilih siapa yang akan memberi pilihan pada sahabatnya itu.
Seperti sebuah ketidaksengajaan yang sudah direncanakan, botol itu menunjuk pada Dipta.
Laki-laki yang melipat kedua tangannya di dada itu tersenyum tipis. Akhirnya, hal yang ia tunggu terjadi. Sepertinya, takdir sedang mendukung laki-laki itu sekarang.
"Truth or dare?" tanya Davan.
"Hahaha. Sukurin lo, Ray," kekeh Hanif sambil meninju pelan lengan temannya itu.
"Karena gue cowok, gue pilih dare. Kan truth harus gue rahasiain," jawab Rayen tersenyum.
"Wih, truth apaan nih?"
"Kira-kira ap..."
"Tembak Alya dan jadiin dia pacar lo!"
Ketiga cowok disana menatap Dipta, tercengang dengan apa yang dikatakannya barusan.
"Eh? Nggak keterlaluan tuh kalo nembak cewek?" celetuk Davan.
"Nggak. Ini sesuai peraturan. Evan aja nglakuin ke guru. Emang itu nggak keterlaluan?" jawab Dipta.
Rayen masih terdiam dengan tantangan yang diberikan Dipt barusan."Alya?"
"Gue kan sukanya sama Kak Cia. Kenapa lo nyuruh gue pacaran sama Alya?" ucap Rayen pada akhirnya.
"Ini dare. Dan lo, harus nglakuinnya. Sesuai omongan lo tadi, karena lo cowok. Lo sama Alya udah akrab, kan? Toh, lo juga belum pernah pacaran kan? Anggep aja pas lo pacaran sama Alya, lo sekalian latihan pacaran. Lo tetep boleh deketin Cia, kalo lo udah berhasil jadiin kakak kelas itu pacar, lo boleh putusin Alya!" jawab Dipta enteng.
Cowok itu menopang dagunya di meja sambil tersenyum. "Dan, kalo lo nggak mau nglakuin ini dare, gue bakal nembak tuh cewek," lanjut Dipta.
"Dip. Itu kelewatan," ucap Hanif yang merasa kalau tantangan itu adalah sebuah desakan untuk Rayen. Karena secara sengaja atau tidak, ucapan Dipta barusan seperti memaksa Rayen untuk berpacaran dengan Alya kalau dia tidak mau Cia pacaran dengan Dipta.
Rayen dibuat diam kembali mendengar kalimat Dipta.
"Nggak. Kak Cia nggak boleh sama dia."
Hanip menolehkan kepala ke arah Rayen. "Ray, mending l..."
"Oke, gue terima tantangan lo," ucap Rayen berdiri dari kursi.
Tuk
Alya menjatuhkan buku yang dipegangnya saat mendengar jawaban Rayen. Ia dan Fama memang menguping pembicaraan cowok-cowok itu sejak tadi di depan kelas, karena ucapan mereka terdengar jelas dari sini. Mereka juga mendengar dengan jelas tantangan yang Dipta berikan pada Rayen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nine P.M
Teen Fiction[tamat] "Gue emang bodoh. Bodoh karena mau aja pacaran sama dia, yang jelas-jelas posisi gue disini cuma dijadiin taruhan dalam kesepakatan konyol itu. Tapi, gue bisa apa? Pas lihat dia senyum, pas gue ngehabisin waktu sama dia, itu udah cukup buat...