Hanif duduk di dekat jendela sambil menatap langit malam. Cahaya bintang menyebar luas di langit, memanjakan mata siapapun yang melihat.
Ceklek
"Ngapain lo, Nif?" tanya Rayen memasuki kamar.
"Liatin bintang. Sini lo!" ucap Hanif.
Rayen mengedikkan bahunya. Ia berjalan menuju kulkas dan mengambil dua soda disana lalu duduk di bangku dekat Hanif, ikut mendongak melihat para bintang.
"Nih," ucap Rayen menyodorkan sekaleng cola.
Hanif mengambil cola itu dari tangan Rayen dan membuka minuman itu hingga menimbulkan suara.
"Lo percaya, Ray?" tanya Hanif tanpa mengalihkan pandangannya dari langit.
"Tentang apa?"
"Katanya, orang yang udah mati jadi bintang di langit sana," tunjuk Hanif pada langit.
"Lo percaya yang gituan?" kekeh Rayen.
Hanif meneguk colanya dan melanjutkan ucapannya. "Percaya. Kalo gue kangen mama kandung gue, gue pasti natap langit terus bicara sendiri, seolah gue lagi bicara sama mama gue."
"Lo kangen sama mama lo?" tanya Rayen meneguk minumannya.
"Pastinya. Tapi, gue beruntung dapet mama tiri kayak mama gue sekarang. Bisa aja, dia kayak mamanya Fama. Tapi, nggak. Mama nggak pernah bedain Hana sama gue. Dia selalu nganggep kita kayak Haru, anak kandungnya sendiri. Gue beruntung punya mama kayak dia. Tapi gimana pun, dia nggak bisa gantiin mama di hati gue. Kalo gue tau mama bakal kecelakaan malem itu, gue bakal ikut dia. Gue pengin nyelametin dia. Tapi kadang, gue juga ngerasa untung gue nggak disana. Malah lebih sakit, kalo gue liat mama gue kecelakaan di depan mata gue sendiri. Tapi, gue nggak bisa ngelakuin apa-apa buat dia."
Rayen menoleh ke arah Hanif. Ia bisa merasakan kesenduan dari ucapan Hanif barusan.
"Gue boleh tanya, kan?" tanya Hanif, mengalihkan pandangannya pada Rayen.
Rayen mendengus mendengar pertanyaan bodoh Hanif. "Biasanya kalo mau tanya, langsung nanya."
"Apa yang lo sukai dari Cia?"
"Heh? Kenapa lo nanyain itu?"
"Jawab aja!"
"Hmm. Nggak tau. Sejak gue pertama liat wajah kak Cia, gue ngrasa kalo dia cewek yang gue cari selama ini. Dia cantik, populer, idaman banyak cowok lagi. Makanya, gue pengin gue jadi satu-satunya cowok buat dia. Gue pengin jadi satu-satunya cowok di hati dia," jawab Rayen menatap langit sambil tersenyum kecil.
"Hm. Lo tau? Lo nggak bisa nyimpulin kalo itu cinta. Suka sama cinta itu beda. Gini, lo suka gue kan?" tanya Hanif.
"Iya, lah. Lo kan temen gue."
"Tapi, bukan berarti lo cinta gue, kan?"
"Mana mungkin gue suka sesama cowok?"
"Nah. Makanya, suka sama cinta itu beda. Bisa aja lo suka sama kak Cia karena lo mandang dia sebagai cewek. Bisa aja karena wajahnya cantik. Bisa aja karena populer. Lo pengin jadi cowok satu-satunya buat Cia. Tapi, itu namanya obsesi. Bukan cinta. Cinta itu ngorbanin apa aja supaya orang yang lo cintai bisa bahagia. Tapi, bukannya lo nggak suka lihat Cia bareng Dipta? Cinta itu beda rasanya sama suka. Kalo suka, lo pasti pengin terus sama orang yang lo sukai. Tapi, kalo cinta. Lo akan ngerasa kehilangan,saat sosoknya nggak ada. Kayak sebagian dari diri lo diambil. Kayak sebagian hidup lo kerasa mati tanpa dia. Kayak apa yang lo lakuin saat itu, nggak lo rasain sama sekali. Hambar. Tapi, kalo lo sama orang yang bener-bener lo cinta sama dia, setiap detik yang lo lalui pasti kerasa berkesan. Kalo lo cinta, udah pasti lo suka. Tapi kalo suka, bukan tentu cinta. Makanya,lo pikirin! Lo itu cinta atau cuma suka sama kak Cia?" Hanif melempar keluar jendela kaleng cola yang sudah kosong di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nine P.M
Teen Fiction[tamat] "Gue emang bodoh. Bodoh karena mau aja pacaran sama dia, yang jelas-jelas posisi gue disini cuma dijadiin taruhan dalam kesepakatan konyol itu. Tapi, gue bisa apa? Pas lihat dia senyum, pas gue ngehabisin waktu sama dia, itu udah cukup buat...