"Untuk perwakilan, setiap kelas akan mewakilkan dua orang siswa sebagai partisipasi dalam lomba lari ini. Satu laki-laki dan juga satu perempuan," ucap ketua kelas didampingi seorang wali kelas di depan.
Kini, suasana kelas menjadi semakin riuh. Tadi sejak bel masuk, para ketua kelas memang dipanggil untuk menerima informasi terkait acara yang diadakan sekolah besok untuk memperingati pelajaran tahun baru yang rutin dilaksanakan setelah ajaran tahun baru dimulai.
"Ada yang mau mengajukan diri?" imbuh wali kelas.
Dan dalam sekejap, suasana kelas jadi sepi seperti kuburan. Tidak ada siswa yang berucap kata satu pun. Menandakan tidak ada yang mau berpartisipasi secara sukarela.
"Kalau tidak ada yang mau mengajukan diri, ibu akan pilih berdasarkan nomor absen kalian."
Guru itu merogoh isi tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak dari sana. Sepertinya, guru itu telah menyiapkan rencana cadangan jika murid-muridnya keras kepala.
"Di dalam kotak ini, ada nomor absen seisi kelas. Bapak akan mengambil dua bola dari sini. Dan yang terpilih, silahkan maju ke depan," lanjutnya. Ia mulai memasukkan tangannya ke dalam lubang kotak.
Seisi kelas menjadi tegang sendiri melihatnya. Bola diambil dari dalam sana dan tinggal menunggu angka disebutkan."Nomor sebelas, silahkan ke depan!"
"Woy, woy siapa nomor sebelas?"
"Heh, siapa yang dapet?"
"Itu tuh yang duduknya disitu."
"Oh, cowok?"
Dipta berdiri saat nomor absennya disebutkan. Ia berjalan ke depan sesuai kata guru tadi.
"Dan untuk ceweknya..."
Guru itu kembali memasukkan tangannya ke dalam kotak. Lalu, tak butuh waktu lama ia kembali menarik tangannya dengan sebuah bola di genggamannya. "Nomor satu."
"Nomor satu, siapa siapa?"
"Eh, bukannya nomor satu tuh cowok?"
"Beneran cowok?"
"Pak, saya cowok," ucap seorang siswa laki-laki yang duduk tepat di depan meja guru.
"Oh? Kalo gitu, kita ambil sekali lagi," jawab guru itu. Ia kembali mengambil sebuah bola dari sana dan menatap seisi kelas sekilas. "Nomor enam."
"Siapa sekarang?"
"Nomor enam yang mana?"
"Nah, cewek deh kayaknya."
"Wah, cewek woy."
Alya membelalakkan matanya saat guru di depan menyebutkan namanya. Ia tidak tahu harus merasa senang karena menjadi perwakilan kelas atau merasa tegang karena harus berpasangan dengan Dipta.
"Gue nggak boleh lari. Gue nggak boleh bikin Dipta dendam sama gue."
Dengan perlahan, Alya bangkit dari kursinya dan berdiri di samping Dipta. Cowok itu melirik Alya dan mendekatkan tubuhnya. "Percaya yang namanya takdir?" bisik cowok itu.
Alya menoleh pada Dipta dengan memasang senyum. Dipta saja yang melihatnya sedikit terkejut.
"Percaya, lah. Ini salah satu cara gue buat lo nggak marah sama gue lagi," jawab Alya berbisik.
"Nah, jadi dua teman kalian ini akan mewakili kelas untuk mengikuti lomba besok," ujar guru. "Tidak perlu berlatih. Lari aja gampang, ya kan? Tinggal lari. Kalo butuh latihan, kalian ganggu aja anjing tetangga. Tapi yang nggak diiket. Biar bisa dikejar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nine P.M
Fiksi Remaja[tamat] "Gue emang bodoh. Bodoh karena mau aja pacaran sama dia, yang jelas-jelas posisi gue disini cuma dijadiin taruhan dalam kesepakatan konyol itu. Tapi, gue bisa apa? Pas lihat dia senyum, pas gue ngehabisin waktu sama dia, itu udah cukup buat...