"Dip-ta?" kaget Alya.
Sedangkan Dipta hanya menatapnya datar dan mengambil dompetnya dari tangan Alya. "Thanks," ucapnya cepat.
Setelah itu, ia pun berbalik ingin melangkah pergi tapi tangan Alya menarik seragam belakangnya untuk berhenti.
"Dip, g-gue minta maaf buat yang waktu itu. Gue nolak lo bukan karena gue suka Rayen, tap..."
Dipta memutar tubuhnya kembali dan mendekatkan wajahnya ke telinga Alya. "Maafin? Gue nggak tersinggung sama ucapan lo yang nolak gue. Gue cuma bakal bikin lo ngerasain gimana rasanya orang yang lo sukai suka sama orang lain. Tujuan gue cuma..."
Alya meluncurkan tas yang dipegangnya ke tanah setelah mendengar kalimat yang dikatakan Dipta.
Kotak jam tangan yang ia beli tadi juga ikut keluar dari tas berwarna coklat muda itu.
Dipta menyeringai melihat reaksi gadis yang ia sukai itu. Ia melirik jam tangan yang ada di samping kakinya. "Itu buat dia, kan?" dengus Dipta.
Kakinya ia majukan untuk menginjak kotak jam, tapi sebuah tangan menghalangi kaki itu agar tidak menghancurkannya.
"Jangan injak!" ucap Alya berlutut seraya meletakkan telapak tangannya di bawah sepatu Dipta, menggantikan kotak tadi untuk diinjak.
Bahkan beberapa pengunjung pun sampai berhenti dan melihat apa yang terjadi.
"LO NGAPAIN, SIALAN?" bentak Reza mendorong Dipta hingga cowok berengsek itu terduduk di lantai.
Dengan cepat, Alya memasukkan kotak jam ke tas cokelat tadi dan berdiri tanpa menghiraukan telapak tangannya yang memerah karena injakan Dipta.
Reza segera menghampiri sepupunya itu untuk melihat kondisinya.
"Lo nggak papa, kan?" khawatir Reza.
"Ayo pulang," lirih Alya.
Reza pun mengangguk dan menarik tangan Alya pergi melewati Dipta yang masih terduduk begitu saja. Persetan dengan makhluk itu.
Alya hanya menundukkan kepala saja mengikuti kemana Reza menariknya.
Kalimat Dipta masih terngiang-ngiang di telinga gadis itu.
"Maafin? Gue nggak tersinggung sama ucapan lo yang nolak gue. Gue cuma bakal bikin lo ngerasain gimana rasanya orang yang lo sukai suka sama orang lain. Gue nggak bakal ngapa-ngapain lo. Tujuan gue cuma buat Rayen sakit hati. Gue bakal bikin dia nggak bisa senyum lagi. Gue bakal bikin cowok yang suka itu ada pada masa dimana dia bakal ngerasa nggak guna. Ngelihat Rayen hancur, adalah happy ending bagi gue."
Kalimat itu terus terulang di benak Alya. Gadis itu tidak ingin Rayen merasa terpuruk dan kehilangan senyumnya. Senyum yang telah membuatnya jatuh cinta dan memutuskan untuk terus menjaganya.
Sebenarnya apa rencana Dipta? Entahlah, Alya juga tidak tahu. Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan cowok itu ke depannya.
Tiba-tiba, Alya menghentikan langkahnya dan menarik pelan tangan Reza, membuat si pemilik tangan menoleh.
"Iya, kenapa?" tanya Reza dengan suara lembut.
Tanpa menjawab, Alya langsung berhambur ke pelukan sepupunya itu dan menangis di dada bidang cowok itu.
"Sshh. Udah,jangan nangis! Malu," ucap Reza menepuk pelan puncak kepala gadis itu. "Udah, udah. Gue disini. Ceritain kenapa!"
Namun, Alya hanya menggeleng dan tetap terisak. "Oke, oke. Kalo gitu gue nggak bakal nanya sampe lo mau cerita sendiri ke gue. Tapi, diem dong! Nggak malu apa, diliatin orang?" tenang Reza layaknya seorang ayah yang menenangkan anaknya yang sedang mimpi buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nine P.M
Teen Fiction[tamat] "Gue emang bodoh. Bodoh karena mau aja pacaran sama dia, yang jelas-jelas posisi gue disini cuma dijadiin taruhan dalam kesepakatan konyol itu. Tapi, gue bisa apa? Pas lihat dia senyum, pas gue ngehabisin waktu sama dia, itu udah cukup buat...