"Hanif nggak ngangkat," ucap Rayen menurunkan ponsel dari telinganya.
"Fama juga."
Rayen menggeser layar ponselnya mencari sederet nama disana. "Coba gue telepon Dipta."
Alya tersenyum getir saat mendengar nama itu disebutkan.
"Lah? Di reject?" gumam Rayen.
"Udah jelas nggak diangkat, lah," batin Alya.
Kedua remaja itu terjebak di dalam gudang entah karena apa penyebabnya. Rayen duduk di satu-satunya kursi disana. Sedangkan Alya berdiri di dekat pintu, berjaga kalau ada suara orang yang lewat.
"Keburu baterai gue habis lagi. Baterai lo masih banyak? Ada senternya kan? Berapa persen? Pake senternya terus ya! Jangan di matiin! Gue takut gelap. Lo baru tau? Iyalah. Baru gue kasih tau tadi, ya kan?"
"Banyak omong lo," cibir Alya.
Senter ponselnya ia gunakan untuk melihat ruangan yang sempit itu, barangkali ada jendela atau apapun yang bisa mereka gunakan untuk keluar dari sana. Tapi nihil. Disitu tidak ada satupun jendela atau celah.
"Ahaha. Bener juga tuh."
Alya menempelkan telinganya saat mendengar suara tawa itu dari luar. Ini adalah kesempatan emas untuk meminta tolong.
"Hoy, ada orang? Tolong bukain nih pintu! Gue kekunci dari luar," teriak Alya.
"Hoy."
"Ada orang lewat? Sini gue teriakin," saut Rayen.
Laki-laki itu berdiri dari kursinya, hingga sebuah suara membuatnya duduk kembali.
Krekk
Rayen meraba celana bagian belakangnya.
"Robeknya panjang lagi. Mampus gue."
Ia menoleh pada kursi yang ia duduki. Rupanya ada paku sialan yang nyangkut disana.
Suara itu semakin menjauh, menandakan bahwa orang tadi juga semakin menjauh. Alya menjadi kebingungan sendiri. Ia mendongak saat sebuah benda jatuh di kepalanya.
Mungkin ini yang dinamakan pucuk dicinta ulam pun tiba. Akhirnya ia menemukan ventilasi di atas pintu itu.
Sekarang, yang jadi masalah adalah bagaimana caranya agar gadis itu bisa mencapai ventilasi di atas sana dan memanggil orang tadi.
Ia menoleh pada Rayen yang sudah berwajah pucat entah kenapa. Alya mengernyitkan keningnya melihat laki-laki itu.
"Lo kenapa?" tanya Alya mendekat.
"Ng-nggak papa," jawab Rayen dengan senyum kikuk.
"Kalo gitu, minggir! Gue mau ngambil nih kursi buat ja..."
"Nggak boleh," potong Rayen cepat.
"Kenapa, sih? Gue mau pake buat manggil tuh orang biar kesini."
"Tetep nggak boleh."
"Jangan ngeyel, deh! Sini!"
"Nggak."
"Siniin nggak?" bentak Alya.
"Nggak boleh."
Ia menatap kesal Rayen. Satu-satunya kesempatan untuk meminta bantuan jadi hangus karena cowok itu.
Alya memutuskan untuk menjauh dan duduk lesehan di lantai. Ia melirik pada Rayen yang terus memegangi seragam belakangnya.
"Kenapa sih tuh cowok? Punggungnya sakit? Apa gue tadi bentaknya kekencengan ya, jadi dia marah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nine P.M
Fiksi Remaja[tamat] "Gue emang bodoh. Bodoh karena mau aja pacaran sama dia, yang jelas-jelas posisi gue disini cuma dijadiin taruhan dalam kesepakatan konyol itu. Tapi, gue bisa apa? Pas lihat dia senyum, pas gue ngehabisin waktu sama dia, itu udah cukup buat...