Bab 39

77 10 7
                                    

Malam ini, Rayen tengah berjalan-jalan dengan Cia di alun-alun kota. Karena mereka kini sudah resmi berpacaran, Cia sering menghubungi Rayen untuk membelikannya ini itu, menjemputnya jika sedang pergi, dan mengajaknya jalan-jalan. Ya, seperti itulah.

Dalam dua hari ini, Rayen tidak bertemu Alya sama sekali di sekolah. Bahkan, saat beberapa kali melewati kelas gadis itu, Rayen tidak pernah melihatnya.

Ingin bertanya pada Hanif, tapi sahabatnya itu sedang pulang ke rumah neneknya di desa. Karena, kakeknya meninggal. Dan disana, tidak ada sinyal. Makanya, Rayen tidak bisa menelepon Hanif.

"Ray, beliin itu dong!" ucap Cia menggoyangkan lengan Rayen yang sedang melihat beberapa anak yang sedang bermain disana.

Cowok itu menoleh pada penjual burger yang ditunjuk Cia.

"Ayo!" gadis itu langsung menarik tangan Rayen.

"Pak, burgernya satu," pesan Cia pada penjual burger itu.

"Kok cuma satu, kak?" tanya Rayen.

"Lo mau? Pesen sendiri, lah! Tapi, ntar lo bayarin ya!" jawab Alya sambil mengerlingkan matanya.

Rayen menghela nafas. Lagi-lagi seperti ini. Cia yang beli, dia yang selalu membayar. Ia melihat sekitar mobil burger itu. Matanya terhenti saat melihat seorang penjual es krim disana.

"Rayen, ntar mampir ke gerobak es krim ya kalo ada!"

Ia teringat kalimat Alya ketika meminta es krim pada saat mereka ada di pasar malam.

"Kok jadi keinget Alya, sih?"

"Ray..."

"Rayen," panggil Cia menyadarkan lamunan cowok itu.

"Eh, kenapa kak?"

"Jangan ngelamun, dong!"

"Ah, iya. Maaf," jawab Rayen menggaruk tengkuknya.

"Hm," jawab Cia jutek.

"Sekarang kemana?" tanya Rayen.

"Ayo kita ke rumah hantu di seberang jalan sana!"

"R-rumah hantu?"

"Hm. Kenapa? Takut?" tanya Cia.

"Nggak."

"Kalo gitu, ayo dong kesana!" Cia melangkahkan kaki lebih dulu menuju rumah hantu yang sudah ramai pengunjung yang ada di seberang jalan. Rayen mengikuti gadis itu dengan langkah kecil.

Mereka berdua ikut mengantre pada barisan menuju satu-satunya pintu disana.

"Selanjutnya," ucap salah satu penjaga pintu itu. Dan kini adalah giliran Cia bersama Rayen.

Cia dengan semangat mengambil karcis yang diberikan dan langsung menyeret Rayen masuk.

Ruangan yang gelap dan hanya terdapat satu lampu yang berkedip-kedip. Masuk sana saja langsung membuat Rayen berkeringat dingin.

"Kak, jangan ditarik dong!" protes Rayen.

"Gimana, sih? Dasar nggak romantis!" cibir Cia. Ia mempercepat langkahnya. Sebisa mungkin, Rayen mengikuti langkah Cia. Tapi, kakinya gemetar dan terasa lemas. Ia tidak bisa melangkah lebih jauh lagi. Cowok itu menutup matanya dengan telapak tangannya. Ia berjongkok di tempatnya berdiri. Rayen ingin melanjutkan langkahnya menyusul Cia yang sudah menjauh, tanpa menoleh ke belakang.

"Kak Cia," panggil Rayen lirih.

Percuma. Rayen sudah tidak bisa mendengar langkah kaki Cia. Keringat di dahinya mulai menetes. Nafasnya mulai terengah.Ia melihat sekitarnya. Dan disana cuma ada kegelapan.

'Tapi, kalo gue di dalem ruangan, gimana gue bisa liat bulan?"

Rayen teringat pertanyaannya pada Alya pada saat tertinggal sendirian di hutan.

"Lo cukup tutup mata lo! Bayangin sesuatu yang bikin lo ngerasa nyaman! Yang selalu lo pikirin.Yang bisa buat lo tenang. Jangan nyerah sama kegelapan! Dengan itu, lo bisa ngalahin ketakutan lo."

Rayen menutup matanya. Ia juga mencoba mengatur nafasnya agar kembali teratur.

"Sesuatu yang bisa bikin gue nyaman. Bikin gue nyaman. Nyaman..."  batin Rayen.

Tiba-tiba, wajah Alya yang muncul dalam benak Rayen. Wajah Alya yang sedang tersenyum tulus padanya.

"Alya," gumam Rayen.

Ia kembali membuka matanya dan menatap telapak tangannya. Tangan yang dipegang Alya dan ditarik gadis itu melewati kegelapan.

Rayen mendirikan tubuhnya. Ia menarik nafas dalam-dalam dan melangkahkan kaki secara perlahan. Ia harus bisa keluar dari sini sendiri. Harus.

"Ada gue disini. Lo nggak sendiri."

Kalimat Alya terus berputar, bagai recorder dalam memori.

Walau dengan langkah terbata Rayen terus berjalan keluar. Ia tak memedulikan suara dan teriakan horror yang memang diputar oleh karyawan rumah hantu.

Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya Rayen berhasil menemukan pintu keluar yang juga sudah di jaga oleh dua karyawan.

"Ray, kok lam...eh, lo kok pucet?" tanya Cia yang sudah sampai di luar duluan.

Tangan Cia terulur, akan menyentuh wajah Rayen, tapi ditepis oleh cowok itu.

"Nggak papa," ujar Rayen mengusap wajahnya beberapa kali dan menarik nafas.

Cia mengangkat satu alisnya heran. Gadis itu menggenggam tangan Rayen.

"Jalan lagi, yuk!" ajak Alya. Tanpa menunggu jawaban Rayen, ia menarik tangan cowok itu berjalan.

Rayen menatap genggaman tangannya dengan Cia. Entah kenapa, ia tidak merasa senang di pegang seperti oleh pacarnya sendiri. Rasanya seperti biasa saja. Tidak ada kesan senang atau berdegup karena bergandengan dengan gadis yang sudah ia sukai selama tiga tahun ini.

"Lo pengin jadi cowok satu-satunya buat Cia. Tapi, itu namanya obsesi. Bukan cinta."

"Kayak apa yang lo lakuin saat itu, nggak lo rasain sama sekali. Hambar. Tapi, kalo lo sama orang yang bener-bener lo cinta sama dia, setiap detik yang lo lalui pasti kerasa berkesan."

Tiba-tiba, Rayen melepaskan pegangan tangan mereka berdua. Membuat Cia menoleh heran.

"Lo kenapa,sih?" tanya Cia.

"Maaf, kak. Kayaknya aku harus pulang sekarang, deh. Rada nggak enak badan," ucap Rayen dengan kepala sedikit tertunduk.

"La terus, gue pulangnya gimana?" protes Cia.

"Kakak pesen taxi aja, ya. Maaf." Setelah mengatakan kalimat itu, Rayen berlalu meninggalkan Cia.

"Rayen."

"Ray."

"RAYEN!!"

Rayen terus saja berjalan, tanpa mengindahkan teriakan Cia yang memanggil namanya.

Berderet-deret pertanyaan muncul di otaknya. Apa benar, keputusannya untuk berpacaran dengan Cia tanpa mengetahui perasaannya yang sebenarnya itu benar? Apakah dia benar-benar mencintai Cia?

Tapi kenapa rasanya, saat menghabiskan waktu dengan gadis itu, Rayen tak pernah merasa bahagia atau pun lega, karena sudah memiliki gadis yang selama ini ia idamkan? Kenapa ia malah merasa ada yang mengganjal di dalam hatinya? Seperti telah meninggalkan sesuatu.

Apakah yang dibilang Hanif itu benar? Apakah dia hanya terobsesi untuk berpacaran dengan Cia?

Dan, kenapa ia merasa kehilangan seseorang? Kenapa ia merasa sedih saat mengatakan kalau ia dan Cia telah berpacaran pada Alya? Kenapa Rayen merasa ingin memeluk Alya, saat gadis itu menangis di atap sekolah waktu itu? Kenapa ia merasa bersalah saat Alya menangis di hadapannya? Kenapa ia merasa rindu dengan Alya? Kenapa ia mancari keberadaan gadis itu saat di sekolah? Kenapa ia merasa dadanya terasa sesak saat tak melihat wajah Alya? Kenapa wajah Alya yang tadi muncul di pikirannya saat tadi rumah hantu? Kenapa?

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Part 39

Nine P.MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang