Bab 42

100 16 6
                                    

Rayen tengah berjalan melewati koridor sekolah yang ramai sendirian. Ia menghentikan jalannya saat melihat Alya berjalan dengan Reza yang memegangi pundak gadis itu, menuju motor Reza. Wajah Alya juga tampak lebih pucat dari tadi siang. Saat akan menghampiri gadis itu, tiba-tiba ponsel di sakunya berdering. Ia menghela nafas saat melihat bahwa Cia yang meneleponnya.

"Ya kak, kenapa?" tanya Rayen pada Cia.

"Ray, lo kesini deh! Gue ada di butik,nih. Lo temenin gue milih baju, ya! Lo udah pulang sekolah, kan?"

"Tapi, kak. Aku baru pulang sekolah, capek. Kakak emang nggak bisa, cari temen buat nemenin?" jawab Rayen yang sedikit kesal saat Cia yang selalu mengajaknya keluar saat gadis itu berbelanja.

"Gimana, sih? Sekarang gue pacar lo sekarang. Jadi, lo tuh harus selalu sedia buat gue. Gue kirim lokasi gue sekarang. Pokoknya, lo harus dateng!"

Tut

Cia mematikan sambungan telepon sepihak. Rayen memasukkan kembali ponselnya di saku dengan berdecak. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke parkiran, mencari Alya bersama Reza tadi. Tapi, sepertinya Reza dan Alya sudah lebih dulu pulang.

Rayen jadi teringat saat tadi siang. Saat jantungnya berdegup saat melihat Alya. Ya, ini adalah kesempatan untuk menemukan jawaban dari pertanyaannya. Ia harus mengetahui apa sebenarnya perasaan yang ia rasakan pada Cia.

"Iya. Gue harus temuin jawabannya hari ini," batin Rayen.

Cowok itu menghela nafas dan segera menuju parkiran motor dan menjalankan motornya menuju tempat yang dimaksud Cia.

***
Setelah sampai di butik yang dimaksud Cia tadi, ia langsung melepas helm yang dipakainya dan masuk ke dalam.

Matanya mencari dimana letak gadis itu. Tapi, lagi-lagi ponsel di sakunya berbunyi. Rayen berdecak dan mengambil ponsel itu dari sakunya.

"Hanif? Udah pulang nih bocah?" gumam Rayen menggeser tombol hijau di ponselnya tersebut.

"Hoy. Napa telepon? Udah pulang lo?" tanya Rayen.

"Udah semalem, sih. Tapi masih capek. Jadi, males masuk sekolah hari ini," jawab Hanif di seberang sana.

"Nggak bawa oleh-oleh dari kampung?"

"Woy, gue kesana tuh nggak liburan."

Rayen terkekeh mendengar jawaban Hanif.

"Ah ya, ntar malem ketemuan di taman yang lo ajak gue dulu, ya! Ada yang mau gue omongin. Jangan lupa dateng! Jam setengah tujuh."

"Kenapa emang?" bingung Rayen.

"Udah, dateng aja! Penting."

"Hm. Oke, lah."

"Kalo gitu, gue tutup dulu. Jangan lupa!"

"Iya, berisik."

Tut

Rayen tersenyum kecil dan memasukkan kembali ponsel itu ke dalam saku.

"Lah, lo disini? Kok nggak nyari gue, sih?" tanya Cia tang tiba-tiba muncul di samping cowok itu.

"Eh? Aku tadi udah nyari. Tapi, ada telepon jadi aku angkat dulu," jawab Rayen.

"Yaya, terserah. Nih bawain dulu! Gue mau coba baju," ucap Cia menyodorkan tas miliknya dan ponsel.

"Bentar, kak!" Rayen menggenggam tangan Cia erat, membuat gadis itu menyatukan alis bingung.

"Kenapa, sih?" tanya Cia.

Nine P.MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang