Alya berjalan menuju kelasnya mengenakan hoodie. Matanya sedikit memerah dan sedikit bengkak karena menangis tadi malam. Padahal sampai rumah, Alya berkali-kali mencuci mukanya agar matanya tidak membengkak.
Tadi malam, ia diceramahi Reza habis-habisan. Tapi, itu tidaklah lama. Karena, Reza langsung menghentikan ceramahnya saat Alya kembali mimisan di rumah.
Langkahnya terhenti tepat di depan kelas, saat melihat seorang laki-laki tengah berdiri dengan menyandarkan tubuhnya pada tembok disana.
"Nyari Hanif?" tanya Alya.
Rayen yang baru sadar Alya datang, langsung menegakkan tubuhnya dan menghadap gadis itu.
"Ah, nggak. Gue nyari lo," jawab Rayen.
"Kenapa?"
"Bisa ikut gue?" tanya Rayen. Alya mengangguk sebagai jawaban.
Rayen memegang tangan gadis itu dan menariknya entah kemana.
Alya memperhatikan sekeliling dari atas sini. Rayen membawanya ke atap sekolah dan kini cowok itu tengah mengacak rambutnya ntah karena apa.
"Jadi, kenapa?" tanya Alya.
Rayen menarik nafasnya dalam-dalam. "Pertama, gue minta maaf kemarin nggak dateng ke taman."
"Oh itu," Alya tertawa hambar. "Nggak papa, kali. Lo pasti punya urusan penting. Jadi, nggak usah dipikirin," jawab Alya tersenyum.
"Beneran? Lo nggak nunggu gue sampe malem, kan?" tanya Rayen tak enak.
"Nggak. Gue cuma nunggu beberapa menit doang, terus pulang. Soalnya disana dingin. Maaf, gue nggak nepatin janji gue," bohong Alya. Tidak mungkin dia menjawab bahwa dia telah menunggu sampai jam sembilan malam dan menangis karena Rayen tidak menepati janjinya.
"Yang kedua..." Rayen menatap mata gadis itu. "Al. Makasih lo udah bantuin gue sebulan ini. Gue bener-bener ucapin makasih sama lo."
Alya yang mendengarnya mengernyitkan dahi bingung.
"Gu-gue u-udah."
"Udah apa?" tanya Alya.
"Gue udah j-jadian sama kak Cia."
Deg
Mendengar kalimat itu, serasa jantungnya berhenti berfungsi. Dadanya terasa sesak mendengarnya. Alya langsung menundukkan kepala. Ia tidak ingin menangis disini. Tidak didepan Rayen.
"Gue minta maaf. Semalem gue nggak bisa dateng karena ketemu kak Cia."
Gadis itu memejamkan mata mendengarnya. Memangnya ia berharap apa tadi malam? Posisinya cuma untuk taruhan. Kenapa ia berharap lebih? Hati Rayen hanya untuk Cia. Itulah yang mungkin ia lupakan.Tangannya mengepal erat. Sekuat mungkin ia menahan air matanya supaya tidak turun.
Alya menggeleng sebagai jawaban. "Ng-nggak perlu minta maaf. Dari awal, dari awal..."
Tes
Satu air mata berhasil turun. Alya tidak bisa berkata lebih banyak lagi. Nafasnya tak beraturan. Dadanya terasa sesak. Lidahnya terasa kelu untuk berbicara.
"Al?"
Alya mendongakkan kepalanya sambil memaksakan sebuah senyum di bibirnya. "Selamat, ya. Gue ikut seneng sama lo. Kalo gitu, gue turun dulu. Piket soalnya."
Setelah mengatakan itu, Alya langsung berjalan keluar dari pintu atap. Meninggalkan Rayen yang terkejut karena melihat ekspresinya barusan.
"Dia nangis?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nine P.M
Teenfikce[tamat] "Gue emang bodoh. Bodoh karena mau aja pacaran sama dia, yang jelas-jelas posisi gue disini cuma dijadiin taruhan dalam kesepakatan konyol itu. Tapi, gue bisa apa? Pas lihat dia senyum, pas gue ngehabisin waktu sama dia, itu udah cukup buat...