27. Berhadapan

89 9 2
                                    

Hari senin, dan hari ini adalah UCO hari pertama. Aku dan Cio sama-sama berjalan ke arah Mading melihat pembagian ruangan.

" Yah nggak sekelas, kirain IPA IPS bakalan sekelas" ucapku kecewa.

" Nggak papa, lagi pula kamu sekelas sama kelas Einstein kan?" ah ya, aku satu ruang dengan IPA 4.

" Nggak ngaruh juga, Skala sama Riga juga absen atas nggak sekelas" ucapku semakin mengerucutkan bibirku.

" Esh esh, masih ada Safana ni. Nggak sendiri" ucapnya lagi berusaha mengembalikan moodku.

" Iya deh nggak papa, yang penting ada temen"

" Ya udah yuk aku anter" sebelum Cio meraih tanganku aku menolaknya.

Aku ingin terlihat lebih dewasa di matanya, mungkin ini salah satu caranya.

" Nggak usah, kelas kamu jauh gini. Aku sendiri aja, sekalian cari Fana"

" Beneran? Kelas kamu di ujung loh"

" Ihh nggak papa, aku udah gedhe Mensis" ucapku gemas.

" Hahhaha iya iya, yaudah aku duluan ya. Semangat!" Ucapnya sambil mengusap lembut kepalaku lalu pergi.

" Mensis!" Panggilku dan dia berhenti.

Aku mendekat kearahnya yang hanya berjarak dua langkah. Setelahnya aku seolah mengambil seuatu dari dadanya dan memasukkannya ke saku tasku.

Cio menatapku bingung.

" Kamu ngapain?" Tanyanya heran.

" Nyimpen ini" ucapku sambil menepuk tasku.

" Tas kamu?" Tanyanya lagi dan aku menggeleng.

" Hati kamu, aku simpen dulu. Takut dicuri orang. Sekalian aku jadiin satu sama janji kamu yang kemaren" ucapku sambil cengengesan.

Cio tertawa sambil mencubit gemas pipiku.

" Pacar siapa sih lucu banget" ucapnya sambil terus tertawa.

" Ihh sakit tauk" keluhku sambil mengelus pipiku yang kini sedikit memerah.

" Cukup kalau sama aku aja kamu lucunya, sama yang lain jangan" ucapnya sambil mengusap pipiku.

Aku terkekeh dan mengangguk. Dia cukup posesif juga ternyata.

Setelah berpisah dengan Cio, aku berjalan ke arah ruang komputer bagian barat. UCO kali ini berbasis online, dan kebetulan aku mendapatkan kelas di ruang komputer, yang letaknya di pojok sekolah lantai 2. Aku langsung tersenyum ketika menemukan Fana yang sedang duduk di depan ruang komputer.

" Gurun Sapana uhuy" panggilku langsung duduk di sebelahnya.

Fyi, aku dan Fana sudah berbaikan satu minggu setelah kejadian itu. Awalnya sulit, tapi setelah perdebatan yang panjang Fana mau memaafkan ku.

" Bete gue nggak sekelas sama Meda" ucapnya terlihat kesal.

" Bukannya kita sekelas ya?"

" Ameda itu absen awal, nggak mungkinlah sekelas sama kita" jelasnya dan aku hanya manggut-manggut.

" Lagi pula cuma di kelas sebelah dia nya, gue sama Cio malah jauh banget. Dia di lantai 3 gue 2 udah sama-sama pojok lagi" ucapku sambil cemberut.

" Hahahha iya juga ya, makanya dia nggak nganter lo" Fana tertawa membuatku semakin memanyunkan bibirku.

Tettt tett tett

Bell masuk berbunyi, aku dan Fana segera masuk ke ruang UCO dan menempatkan diri. Kebetulan aku dan Fana bersebelahan. Memiliki inisial yang sama membuat absen kami berdekatan.

Tatanan bangku di ruang komputer memang berbeda dengan kelas biasanya. Modelnya berderet dan berhadapan. Bangkuku berada di pojok ruangan dengan sebelah kananku Fana.

" Etdah UCO pertama hadep-hadepan sama mantan Sa"

Aku yang tengah memasukkan barangku ke tas segera menoleh ke depanku. Badanku seketika membeku, setelah sebulan lebih menghindarinya kini dia ada di depanku. Astaga dia menempati bangku di depanku, tepat di depanku.

" Eh ada yayangnya abang Meda juga" Miko bersuara kembali.

" Apasih Ko" ucap Fana dan aku masih diam.

Aku lihat Esa juga hanya diam, dia mulai menata barangnya dan pergi meletakkan tas ke depan kelas tanpa mengucapkan apapun.

" Lo pasti putusnya nggak baik-baik ya Stey?" Tanya Miko dan aku hanya memandangnya sebal.

" Eh iya, jangan-jangan beneran selingkuh ya lo?" Tanya Miko mulai kepo.

" Berisik lo!" Bentakku lalu pergi meletakkan tas.

Selama UCO berlangsung aku sangat tidak bisa berkonsentrasi. Bagaimana tidak? Aku kadang memergoki Esa yang sedang menatapku dan kemudian sok serius dengan ujiannya. Ini kenyataan bukan halusinasi atau kepedeanku saja, bahkan di lima menit terakhir dia kembali menatapku cukup lama. Tatapannya itu sulit diartikan, bukan tatapan hangat seorang Esa yang dulu aku dapatkan.

" Gila sih, tadi Esa ngliatin lo terus. Nyadar nggak?" Tanya Fana yang sedang berjalan denganku menuju parkiran.

" Ih iyakan, lo juga liat. Gue jadi takut"

" lah kenapa takut? Kayaknya dia belum move on deh Stey, dari tatapannya kayaknya dia kangen banget sama lo"

" Emang gitu?" Tanyaku tak yakin.

Fana menghela napasnya.

" Ehmm Lo tau Alisa?"

" Anak teater bukan?" Tanyaku, Fana mengangguk.

" Kenapa dia?"

" Lagi deketin Esa" kata Fana membuatku terkejut.

" Loh bukannya dia pacaran sama Arengga ya?"

" kemaren kata Meda waktu presentasi bahasa Inggris yang mendeskripsikan kamar pribadi. Esa bener-bener deskripsiin kamarnya di rumah, ya lo tau sendiri tajirnya dia kek apa. Alisa kepo dan akhirnya tau kalo bokapnya Esa punya kelapa sawit di Kalimantan, ya cewek matre kaya dia langsung ijo matanya tau itu"

" Terus Esa gimana? "

" Ya dia sih biasa aja, tapi ya lo tau sendiri dia baik banget orangnya. Kemaren Alisa sok-sokan sakit terus minta anter pulang, dan Esa mau"

Aku tertunduk mendengarnya, semoga Esa bisa berpikir jernih untuk tidak menerimanya.

" Jujur, Gue masih berharap banget lo balik sama Esa. Gue yakin kalaupun Esa mau sama Lisa, bukan karna dia suka. Tapi hanya pelariannya dari lo"

" Kok lo ngomong gitu Pan?"

" Ya nggak aja, cuma Alisa tu punya banyak kesamaan sama lo dari segi fisik. Yang gue takutin Esa bisa bisa pake alasan itu buat nerima Alisa" jelasnya membuatku semakin menunduk.

" Dia baik banget Stey, nggak rela gue kalo dia berakhir sama uler kaya Alisa" lanjutnya.

" Tapi gue nggak bermaksud mempengaruhi lo Stey. Lo bebas milih siapa, yang penting lo bahagia" ucap Fana membuatku tersenyum.

Kurang lebih tatapannya si Esa kaya gini

Kurang lebih tatapannya si Esa kaya gini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Deastyka

FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang