11. Kinar Tahu

247 19 22
                                    

Sudah setengah jam aku hanya meringkuk di depan pintu. Keringat dinginku semakin bercucuran, aku menekan dadaku yang terasa sakit, sangat sakit. Bayangan itu sudah pergi tapi kepalaku masih saja pening.

Semua rasa sakit bercampur menjadi satu. Kakiku lemas, badanku lemas, napasku juga tersendat. Aku ingin memaki diriku sendiri yang meninggalkan obat penenangku. Sudah kubilang bukan aku memiliki trauma? Kalau bahasa medisnya Post Trauma Stress Disorder atau PTSD, sebenarnya PTSDku ini sudah membaik dan tidak pernah kambuh. Karena si brengsek Bian penyakit itu datang lagi, menyebalkan. Pasti setelah ini aku akan dipaksa ke RSJ lagi.

Oke lupakan itu, yang terpenting aku benar-benar tidak mau mati kurang napas seperti ini. Sungguh tidak cantik sekali cara matiku jika seperti ini. Aku kira Cio akan mendatangiku, tapi lihatlah dia benar-benar tidak datang.

Aku berjanji akan menggentayangi Skala dan Cio jika aku benar-benar mati di sini. Oh tidak, yang pasti Fabian juga akan jadi target utamaku, tunggu saja.

Tok tok tok

" STELLA LO DIMANA? BUKAIN PINTU STEY!" aku mendengar suara Cio yang menggedor-gedor pintu belakangku ini. Ahh sialnya pintu ini malah aku kunci, dan sekarang aku tak sanggup membukakan nya.

" Mensis" desisku, tidak bisakah suaraku sekeras biasanya? Tuhan bagaimana caranya agar Mensis tahu aku di sini?

" STELLA!!!" Teriak Cio semakin gusar.

Aku bersyukur karena gorden jendelaku masih terbuka. Pasti Cio melihatku dari sana.

Pyarrr

" Tenang kamu aman, aku akan jagain kamu. Jangan takut" aku benar-benar tak mengerti apa yang terjadi tapi aku merasakan hangat dari seseorang.

Cio memelukku dengan erat.

" A-kuh Tak-kut" ucapku tersendat-sendat.

Dia mengelus puncak kepalaku dan sesekali menciumnya. Aku merasa aman, napasku mulai teratur, tapi badanku masih lemas.

Aku merasa badanku melayang, Cio menggendongku ke kamarku. Setelah sampai kamar dia membaringkanku dengan hati-hati.

" Obat kamu mana?" tanya Cio tepat ditelingaku.

" La-ci" jawabku.

Cio mengambilkannya dan membantuku meminum obatnya. Efek obat penenang itu adalah memberikan rasa kantuk, mataku menjadi semakin berat. Tapi aku tidak mau Cio pergi.

" Mensis" lirihku.

" Iya aku jagain kamu, nggak akan pergi" ucapnya sambil mengelus kepalaku.

Aku mengangguk dan mulai terlelap.

Pagi harinya aku sudah merasa lebih baik. Aku masih mengenakan seragamku yang kemarin. Dan betapa terkejutnya aku mendapati jejak darah di sprei kasurku.

" Kayaknya baru minggu kemaren gue selesai, masak dapet lagi sih?" Pikirku dalam hati.

Aku beranjak dan melihat rok bagian belakangngku yang juga berwarna merah. Aku masuk ke kamar mandi untuk mengeceknya.

" Gue nggak dapet kok, ini darah apa coba?" Ucapku pada diriku sendiri.

Oh tuhan aku baru teringat, Cio yang menolongku tadi malam. Apa ini darahnya? Tapi kok bisa?

Aku mencarinya ke kamar tamu dan tidak menemukannya, ke ruang keluarga dan ke ruang tamu masih saja tidak ada.

Tapi aku melihat ada semangkuk bubur di meja makan. Aku tersenyum ketika melihat note kecil di sana.

" Sarapan dulu, jangan lupa minum obat! Gue pulang, entar gue jemput"

Mensis

Aku ingin berteriak sekarang, kapan lagu berangkat sekolah bersama Cio. Membayangkannya saja sudah membuat perutku mulas. Eh tunggu, dari mana Cio dapat obat ini? Obat yang Cio siapkan adalah obat jalan untuk penderita sepertiku. Harus menggunakan resep dokter, tapi biarkanlah. Aku akan berterimakasih pada Fabian karena membuat Cio perhatian kepadaku.

FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang