32. Tentang Janji

86 10 4
                                    

Aku mengusap keningku yang penuh peluh. Mengatur napasku yang tersendat, mataku sudah mulai berkunang-kunang hingga akhirnya aku mendudukkan pantatku di atas hijaunya rumput.

" Stella ayo! aku aja udah 3 puteran. Kamu 2 aja belum" teriak Cio yang sudah berada jauh di depanku.

Aku hanya menggeleng dan mengerucutkan bibirku. Aku sungguh lelah, benar-benar tidak sanggup. Olahraga memang bukan keahlianku, bahkan bisa mencapai satu putaran lapangan ini saja sudah pencapaian terhebat untukku.

Aku melihat Cio menertawakan ku, tapi tak lantas dia berlari menghampiri ku.

" Padahal minggu kemaren udah bisa 3 puteran. Masak sekarang nggak bisa?" Katanya membuatku jengkel.

" Itu lapangan basket kompleks, ini stadion bola yang luasnya udah kaya jidatnya Pak Parno. Ya jelas bedalah, kamu ih" jawabku kesal tapi dia malah tertawa.

Tiba-tiba dia berjongkok di depanku.

" Naik sini" katanya sambil menepuk punggungnya.

" Di punggung kamu? Kamu mau nggendong aku gitu? Di sini?" Tanyaku panjang dan Cio tertawa.

" Iya, katanya kamu capek. Aku gendong sampe minimarket depan. Ayok!" Katanya meyakinkanku.

" Beneran?" Aku masih memastikan, pasalnya di lapangan ini cukup ramai.

" Iya Stella sayang, tapi kalo nggak mau ya udah, aku tinggal nih" katanya membuatku langsung berdiri mendekat di belakangnya.

Aku senyum-senyum malu ketika meletakkan tanganku di lehernya. Jantungku juga makin berpacu ketika naik di punggungnya. Aku benar-benar malu jika dia sampai merasakan detak jantungku.

Cio mulai berdiri dan berjalan.

"Aku berat ya?"

" Hahahaha berat apanya? Sama giant doll punya Cia aja entengan kamu"

" Ihh nggak segitunya juga kali"

" Ya emang bener"

Aku mengerutkan bibirku, kadang Cio memang menyebalkan. Tapi senyumku terbit kembali, bahkan rambutnya yang lepek dan berkeringat tak membuatku risih. Malah semakin nyaman dibuatnya.

Hari ini adalah hari sabtu sore. Setelah berpacaran dengan Cio, memang sabtu sore aku habiskan dengan berolahraga, lari mengelilingi lapangan di stadion Mandala Krida seperti saat ini contohnya. Kadang dia juga mengajariku beberapa teknik dasar bela diri, katanya jadi pacarnya Cio itu harus sehat dan kuat, tidak boleh lemah.

Setelah sampai di minimarket dia mendudukkan ku di kursi.

" Bentar ya aku beli minum dulu" ucapnya sambil mengusap kepalaku.

Tak lama akhirnya dia datang membawa 1 kresek putih di tangannya. Dia duduk di depanku dan menyerahkan sebotol air mineral.

" Kok nggak dingin?" Keluhku.

" Nggak boleh sayang, badan kamu harus dinetralin dulu. Kalo dingin nanti kepala kamu bisa sakit"

Aku mengangguk sambil mengerucutkan bibirku. Dia tertawa dan mengacak rambutku.

" Nih bonus" aku tersenyum ketika dia meletakkan susu kotak strawberry dan satu batang coklat di depanku.

" Makasih" aku semakin tersenyum lebar.

Tiba-tiba Cio mengangkat kakiku dan membawanya ke pahanya. Aku terkejut dan berusaha menarik kakiku tapi dia menahannya.

" Mau ngapain?" Tanyaku panik.

" Katanya capek, mau aku pijit bentar biar enakan" katanya membuatku tersenyum malu.

Dia mulai melepaskan sepatuku dan memijat kakiku dengan hati-hati.

" Lain kali kalo habis olahraga kakinya di lurusin, nanti jadi varises." Jelasnya

" Iya"

" Aku ngajak kamu lari itu, biar kaki kamu yang cidera dulu bisa sembuh"

" Emang bisa? Kaki aku malah jadi pegel gini"

" Itu karena kamu kurang latihan aja. Besok lagi kita coba naik sepeda, aku sempet search kalo itu bisa ngelatih lutut kamu"

" Boleh, aku ada sepedanya Mas Bintang" kataku dan Cio mengangguk.

" Eh iya, katanya Achel 2 malam ini kamu nginep di apartemennya? Kenapa? Lagi ada masalah?" Tanya Cio membuatku diam.

Aku bingung harus menjawab apa. Dua hari ini aku memang menginap di apartemen milik Rachel, aku merasa suasana rumah tiap harinya menjadi tidak kondusif. Katanya, Ibu sudah dipindahkan lagi di hotel daerah magelang, jadi ibu sering pulang. Tapi hampir setiap ibu pulang aku selalu melihat sedan hitam itu, sedan hitam yang sama di malam ketika aku dan Cio bertengkar. Bukan hanya itu, aku juga sempat melihat beberapa pesan aneh dari kontak yang ibu namai 'Mas Rama' di ponsel. Bolehkah aku curiga?

Aku benar-benar tidak ingin memiliki ayah baru, bukannya egois dan bahkan ibupun mengetahui alasan nya. Ibu juga sudah berjanji hanya akan bersamaku sampai nanti. Tapi entah mengapa aku semakin meragukan janji ibu. Itu membuatku takut, sangat takut.

" Stey" panggil Cio menyadarkan lamunanku.

Aku tersenyum dan menggeleng.

" Lagi pengen aja, udah lama ngga Q-time sama Achel" kilahku.

" Kalau ada masalah cerita sama aku, gunanya pacar itu bukan cuma buat dibawa kemana-mana. Tapi juga untuk tempat keluh kesah, kamu juga bisa anggep aku sahabat atau kakak kamu. Yang penting jangan simpen semua sendiri. Ngerti?" Katanya membuatku mengangguk dan tersenyum.

Cio benar, tapi mungkin bukan sekarang waktu yang tepat. Aku masih berharap ada kemungkinan lain tentang ibu. Aku berharap ibu bisa menepati janjinya.

" Dan kalau kamu punya masalah sama ibu kamu, bukannya lebih baik kalau dibicarakan bukannya malah pergi kaya gini? Kemaren aja ibu kamu sampe telfon aku nanyain keberadaan kamu" ucap Cio membuatku terkejut.

" Segitunya?" Batinku.

Ah, mungkin nanti aku akan pulang saja. Bahkan ibu sampai menghubungi Cio.

" Iya nanti aku pulang" jawabku akhirnya.

Cio menatap mataku lekat, solah mengunci semua atensiku.

" Kapanpun kamu butuh aku, aku ada. Aku janji" ucapnya dengan sungguh-sungguh.

Tapi entah mengapa, kata janji yang Cio ucapkan malah membuatku menjadi takut. Kata janji seolah jadi kata yang paling menakutkan untukku dengar. Kata yang serat dengan harapan dan kekecewaan.

Stella Kireina

Mensisio Arashel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mensisio Arashel

Mensisio Arashel

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

deastyka

FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang