20. Esa, Maaf

152 17 8
                                    

Semuanya masih terasa mimpi untukku. Duduk di jok belakang motor Cio, mengenakan jaketnya yang terlihat besar di badanku. Di kesempatan ini aku akan melakukan semua yang ada di khayalan ku. Memeluk perutnya dan menyenderkan kepalaku di punggungnya.

Ehmmm bahkan katanya tadi kelasnya ada jadwal olahraga, tapi aku tidak mencium sedikitpun bau apek layaknya oramg olahraga. Hanya bau segar mint dan sitrus seperti tadi pagi saat upacara.

Aku akan mengingat semua rasa ini, aroma ini, detak jantung ini. Setidaknya jika ini memang mimpi, besok pagi aku akan senyum-senyum sendiri mengingat semuanya.

Untuk pertama kalinya, aku menyesal letak rumahku yang dekat dengan kafe milik Riga. Belum sampai 10 menit, motor Cio sudah berhenti di depan rumahku. Aku turun dari motornya dan menyerahkan helm beserta jaketnya.

" Ibu kamu pergi lagi?" tanyanya sambil menengok ke rumahku.

" Iya, ke Bandung. Aku minta Bang Biru pindah tugas Ibu, aku nggak terlalu suka bosnya yang dulu, genit" ucapku terlihat kesal dan dia terkekeh.

" Aneh-aneh aja, nggak nginep di Skala aja. Kemarin aku juga sempet ngrusakin jendela rumah kamu, bahaya" ucapnya khawatir

" Aku berani lagi pula udah dibenerin lagi kok. Maaf ya tangan kamu jadi luka" kataku menyesal dan dia tersenyum.

" Itu tugasku, it's oke" katanya lembut dan membuat hatiku menghangat.

" Ya udah kamu masuk gih, ntar aku baru pergi" ucapnya sambil mengusap kepalaku dan aku mengangguk.

Baru satu langkah dia mencekal tanganku lagi. Aku menoleh dan menyerngitkan dahiku seolah bertanya 'apa?'

" Mulai sekarang, aku yang akan nganter jemput kamu. Jadi bilangin ke cowok cupu itu, nggak usah lagi nganter jemput kamu, itu jadi tugas aku sekarang" katanya membuatku membatu.

Mahesa, ah ya bagaimana aku bisa melupakannya? Oh Tuhan aku harus bagaimana? Kenapa jadi serumit ini sih?

" Stel, are you okay?" Tanyanya terlihat khawatir.

" Ya nggak papa" aku tersenyum kikuk.

" Kamu tau, waktu kita nggak banyak. Aku cuma pengen diwaktu yang singkat ini bisa punya memori yang indah tentang kita. Jangan sampe orang ketiga ada dalam memori itu, ngerti?" Jelasnya lagi dan aku mengangguk.

Cio tersenyum, menggenggam tanganku dan membawanya ke bibirnya, dia mengecupnya lama dan membuatku terhenyak. Dia kembali menatapku teduh.

" Aku sayang kamu, good nite" ucapnya.

" Aku lebih sayang kamu" kataku sambil tersenyum lebar dia mengangguk dan ikut tersenyum.

Setelahnya aku segera masuk ke rumah, aku mendengar deru motornya, dia sudah pergi. Aku masuk ke kamar dan segera merebahkan badanku.

" Kenapa gue jadi takut? Nyesel, kenapa aneh sih?" Gumamku tak jelas.

Aku mengambil ponselku, ada puluhan pesan dan belasan telfon dari Esa yang aku abaikan. Aku terkejut, hatiku sedikit sesak. Aku harus bagaimana?

" Telfon enggak ya?" Ucapku sambil menscrol pesan Esa naik turun.

Tetttt tett tett

Esa Einstein is calling

Aku segera melempar ponselku saking terkejutnya. Ahh kenapa dia malah meneleponku? Aku bilang apa coba?

" Halo Sa?"

" Alhamdulillah, lo udah sampe rumah kan Stey? Gue tadi sempet mampir rumah lo, tapi masih gelap. Gue khawatir banget lo nggak ngangkat telfon gue" ucapnya membuatku sedih.

" Lo ke rumah gue Sa?" Tanyaku lirih.

" Oh iya, cuma mastiin lo udah sampe rumah. Tapi lo tadi kemana? Nggak ada masalah kan?" Tanyanya terdengar khawatir, aku mencoba mengontrol diriku, aku harus tetap mengatakannya.

" Esa" panggilku.

" Ya?"

" Aku mau jawab yang tadi"

" Hah? Besok aja Stey pas aku jemput lo, langsung lebih enak"

Aku menggeleng bahkan meneteskan air mataku, kenapa aku merasa menjadi penjahat di sini.

" Esa aku jadian sama Cio" ucapku cepat tapi tak ada respon dari Esa.

" Esa, aku minta maaf" ucapku lirih.

" Eh? Jadian gimana?" Tanya Esa membuatku semakin sedih. Tuhan aku jahat sekali.

" Aku Cio udah pacaran, aku minta maaf"

" Ehm kapan?" tanyanya terdengar kecewa.

" Tadi, tadi aku ketemu dia waktu kamu ke rumahku" kataku, kini air mataku sudah benar-benar lolos, kenapa terasa menyakitkan.

Esa masih diam, aku tahu dia sangat marah. Aku tahu aku sangat salah di sini, aku terlalu memberi Esa harapan.

" Esa, Lo marah?" tanyaku ragu.

" Hmm? Enggak. Maaf sepertinya gue terlalu berharap banyak" ucapnya membuatku semakin menyesal.

Aku menggeleng, padahal Esa juga tak bisa melihatnya.

" Enggak Esa, gur yang salah. Gue minta maaf" ucapku sambil sesenggukan, aku benar-benar tidak bisa menahn tangisku.

" Stey, lo nangis?" tanyanya dan aku diam,  tenggorokanku tercekat.

" itu hak Lo Stey, gue nggak bisa marah. Tapi gue nggak munafik kalau gue juga kecewa" ucapnya membuatku semakin menangis.

" Jangan nangis, gue nggak papa. Kegagalan itu pasti ada, mungkin gue cuma butuh waktu" lanjut Esa.

" Berarti gue udah nggak bisa nganter jemput lo ya?" Tanya Esa lalu terkekeh.

Aku masih tak merespon, rasanya masih sakit untuk sekadar mengatakan 'ya'.

" Salam buat Cio, gue nyerahin Lo. Assalamualaikum" belum aku menjawab salamnya, Esa telah mematikan ponselnya.

Aku berbalik dan menutup mukaku dengan bantal, aku menangis sekeras-kerasnya.

Untuk pertama kalinya, aku merasa terlalu bahagia, tapi juga sakit secara bersamaan.

" Esa, maaf. Maaf. Maaf" ya, mungkn seribu maafpun tak akan menyembuhkan rasa sakit yang Esa rasakan.

deastyka

FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang