33. Kata Skala

95 11 0
                                    

Aku membuka pintu rumah yang tak terkunci. Sepi. Yah, itu kesan pertama ketika aku memasuki ruang tamu. Tidak ada tanda-tanda adanya penghuni dalam rumahku ini.

Aku berusaha tidak memperdulikannya, mungkin ibu sedang ke warung depan. Tapi ini sudah jam 8 malam, tidak mungkin kan?

Aku terkejut ketika menemukan seseorang yang tidur di ranjang kamarku. Dia memeluk boneka bulanku dengan erat.

Aku menghampirinya, mengamati kulit wajahnya yang sudah mulai berkeriput. Bahkan aku baru sadar jika uban ibu sudah cukup banyak. Aku mendekat dan mengecup keningnya lama.

" Maafin adek ya Bu, adek sayang ibu" ucapku lirih hingga tak terasa air mataku mengalir.

Satu bulan berlalu, hubungan aku dan ibu semakin membaik. Ibu yang bekerja di Magelang hanya menyempatkan di akhir pekan untuk pulang. Mobil sedan hitam itu juga sudah tak terlihat. Ibu sekarang juga sudah memiliki mobil, walaupun mobil bekas yang ia beli dari Bang Biru. Awalnya mobil itu akan diberikan cuma-cuma, tapi ibu menolak, bagaimanapun keluarga Bang Biru sudah cukup banyak membantu keluarga kami, jadi ibu memilih untuk mengangsurnya setiap bulan dengan gajinya.

Aku cukup senang, ketakutanku mulai hilang. Tapi waktu yang terlalu cepat berlalu membuatku sadar UN akan segera datang. Senin depan, UN akan diselenggarakan. Hari Jum'at ini adalah hari terakhir bisa menghabiskan waktu dengan teman-teman. Di dalam center hall sekolah yang luas, telah berkumpul seluruh siswa kelas 12. Perjalanan yang cukup panjang tapi terasa singkat.

Bahkan tidak terasa hubunganku dan Cio sudah genap 3 bulan lamanya. Hingga hari ini hubungan kami masih baik-baik saja, walau kadang ada perdebatan-perdebatan kecil yang sulit dihindari. Sifat cemburuanku dan protektifnya adalah alasan utama. Tapi itu hanya menjadi angin lalu.

" Setelah ini kalian keliling, berjabat tangan, dan saling meminta maaf" ujar Pak Basuki selaku kepala sekolah.

Siswa-siswi mulai berhamburan, mulai dari bersalaman dengan guru dan dilanjutkan ke siswa lain. Setelah bersalaman dengan guru aku terpaku ketika melihat Skala bersalaman dengan Pak Parno yang telah menjadi musuh bebuyutannya sedari dulu. Aku melihat adegan haru yang bahkan membuat semua orang tercengang. Pak Parno yang memeluk Skala erat, layaknya seorang ayah dan anak, Ia juga menangis hingga sesenggukan. Bahkan beberapa guru sampai mengelus punggungnya agar Pak Parno tenang. Sedangkan Skala malah tertawa sambil mengusap-usap punggung Pak Parno. Skala tetap Skala dengan tingkah tengilnya, tapi sekian tahun mengenal Skala membuatku dengan mudah menemukan cela di antara tawanya. Seakan tawanya hanyalah kamuflase dari tangis yang ia tahan.

" Kapan coba warasnya Skala, lagian ngapain juga Pak Parno sampe nangis sesenggukan kek gitu" ucap Kinar yang tiba-tiba di sampingku.

Aku hanya mengedikkan bahuku tak peduli. Melihat Skala membuatku mengingat pembicaraan kami malam itu.

FLASHBACK ON

Hari ini adalah syukuran kehamilan Mbak Bi untuk yang ke dua. Aku diundang untuk makan malam , dan sekaligus menginap di rumahnya. Hari ini kata Mbak Bi semua berkumpul, Skala dan Rachel menginap di rumah. Ada Mas Gavin dan ayahnya, keluarga Riga bahkan juga hadir, dan tak lupa sang suami Bang Biru yang sangat langka berada di rumah juga ada. Hanya aku yang tidak bersama keluargaku, yah di malam Rabu seperti ini Ibu tidak bisa pulang.

Suasana malam itu sangat hangat, Bang Biru yang terus meledek Mas Gavin yang masih melajang sampai sekarang hingga obrolan serius mengenai kelanjutan kuliahku, Skala, Riga, dan Rachel. Dari perbincangan itu ada hal yang membuatku terkejut, Skala akan melanjutkan studynya ke Jerman. Kalau Riga yang memilih Australia aku tidak heran, itu memanglah cita-citanya. Tapi Skala? Jangankan bahasa Jerman bahasa Inggris saja hanya bisa Yes No.

FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang