Time For Us

1.1K 96 6
                                        

Gue nggak tahu sejak kapan mata ini bisa tertuju pada sosok itu di antara sekian puluh orang di peron stasiun. Tapi, gue punya segudang pertanyaan kenapa Tuhan mempertemukan gue dengan dia. Oke, mungkin ini gila bisa jatuh cinta tanpa adanya perkenalan. Tapi, gue nggak bisa membohongi perasaan gue yang selalu tertuju ke dia. Ketika sehari aja gue nggak melihat dia di peron stasiun, gue akan terus kepikiran sampai besok. Dan selalu berharap kalau gue bisa ketemu dia setiap harinya.  

Perkenalan memang nggak ada di antara kita. Tapi, kita pernah saling bersinggungan. Ceritanya begini, ketika gue lagi naik kereta ke arah Bekasi sekitar jam tujuh malam. Di jam segitu, kereta ke arah Bekasi benar-benar padat banget. Terkadang gue sampai nggak bisa napas gara-gara saking padatnya. Gue berdiri di depan bangku penumpang. Saat pintu kereta mau tertutup, ada seorang bapak menyerobot masuk. Gue sih nggak terkejut. Kejadian itu sudah biasa gue—atau penumpang langganan KRL—lihat. 

Lalu bapak itu meletakkan helm yang dibawanya di bagasi kereta dengan posisi terbalik. Ketika kereta belum lama jalan, helm itu bergerak menggelinding. Untung saja, tangan gue sigap menangkap helm itu sebelum menjatuhi orang di bawahnya. Helm itu diambil oleh sang empunya.

“Makasih, ya, Mas,”suara seorang perempuan mengalihkan perhatianku. Dengan senyuman yang masih dipertahankan, ia kembali berkata, “Untung saja ada Mas-nya, kalau nggak kepala saya udah benjol kali.”

Alamak! Baru kali ini gue nggak bisa berkedip lihat senyum perempuan. “Sama-sama, Mbak,” balasku kemudian. Setelah itu nggak ada interaksi apalagi dari kami, perempuan itu fokus pada ponselnya. Dari atas sini, dari tempat gue berdiri yang pas banget di depan dia, perempuan itu benar-benar cantik. Ini bukan cantik pada umumnya, udah level bidadari surga kali.

Meskipun mata gue nggak lagi memperhatikan perempuan itu, tapi telinga gue masih tajam mendengarkan percakapan dia dan temannya. Kebanyakan sih bahas tentang tugas-tugas gitu dan sempet nyebut nama kampus. Ternyata dia kuliah di salah satu PTN di Jakarta dan rumahnya di Bekasi. Dan akhirnya gue tahu nama perempuan itu, Eunha. Nama yang unik dan baru pertama kali gue denger nama yang begitu unik. Ya, meskipun gue nggak tahu nama panjangnya. 

“Someday, kalau gue punya istri, nggak mau yang namanya Siti, Ana, Dwi, atau Nur. Gue pengen kaya nama cewek ini. Pasti keren banget. Atau kalau bisa sih dia aja yang jadi pasangan gue,” kataku dalam hati. 

Gue cuma bisa tersenyum bahwa betapa halu-nya gue untuk bisa jadi pasangan dia. Kenal aja nggak dan dunia kita nggak pernah sekalipun saling melebur. Tapi, gue nggak mengerti kenapa Tuhan membiarkan perasaan ini berkembang lebih jauh lagi. Kenapa juga Tuhan selalu menuntun mata gue untuk mencari keberadaannya.

Gue turun KRL dari arah Bogor, menyeberangi peron untuk menunggu KRL arah Bekasi. Rumah gue di daerah Jatinegara dan gue kuliah di Depok. Malam ini, gue kembali mencari keberadaan Eunha. 

“Nyariin siapa, Jung?” tanya temen gue, Mingyu namanya. Ternyata Mingyu menyadari tingkah gue. 

Gue hanya menggeleng. Sebenarnya, tentang cewek itu dan perasaan gue belum ada yang tahu. Gue mau memastikan dulu apakah cewek itu masih sendiri atau justru sudah mempunyai pasangan. Tiba-tiba gue merasa penasaran dengan sekerumunan orang. 

Mata gue terus menuju kerumunan itu, lalu gue menepuk Mingyu yang berdiri di samping gue. “Gyu, itu kenapa ya rame-rame?” tanya gue sambil menunjuk ke tempat yang ramai itu. 

“Nggak tau, Jung. Lo mau lihat ke sana?”

Gue terus memerhatikan. Dari celah-celah kaki manusia yang berkerumun itu, gue bisa melihat seseorang duduk. Gue mulai melangkah ke sana, tapi Mingyu menahan dan berkata, “Keretanya udah datang.”

Eunkook AnthologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang