Pieces from The Past

482 45 12
                                    

"Rara berhak tahu siapa Ayahnya!"

Hening seketika. Semua orang disana tengah sibuk mencerna kata-kata Selfi barusan. Sementara gadis itu masih terengah-engah, tak menyangka mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan itu sangat menguras tenaga.

"Ayah Rara?" Bingung, Rara memandang Selfi dan Ical bergantian. "Apa maksudnya? Apa yang kalian bicarakan?"

"Rara inget juragan kaya yang mengundang kita di acara khitanan anaknya kemarin, kan?" Selfi memandang adiknya.

Rara mengangguk.

"Orang yang menurut Ayah Ical, meminta kakak untuk nyanyi sendiri dan kamu main gitar dibelakang?"

Rara mengangguk lagi.

"Anehnya, waktu Kakak bertemu si juragan itu, dia malah kecewa kakak ga nyanyi sama kamu!"

Tunggu. Rara semakin tidak mengerti. Kalau si Juragan justru kecewa, berarti yang Ayah Ical bilang itu...

"Bohong!" Selfi melanjutkan, sembari melempar pandangan tajam ke Ical. "Ayah Ical bohong ke kita semua. Rara gak boleh main di depan panggung bukan atas permintaan si Juragan, tapi karena Ayah Ical gak mau dia bertemu dengan Rara..."

Kini semua orang menatap Ical tak percaya. Sementara si pemilik padepokan itu makin terlihat gelisah.

"Rara gak hanya dilarang main gitar dipanggung. Rara juga gak boleh sama sekali kedepan bahkan hanya untuk lihat performance nya kak Selfi..." Rara menambahkan. Makin difikir, cerita Selfi makin masuk akal baginya. Makin menjawab sikap-sikap aneh Ical waktu itu. "Dan waktu si Juragan itu mengundang Kak Selfi ke rumahnya, Rara gak boleh ikut..."

"Mungkin Ayah Ical mau jelaskan kenapa?" Tantang Selfi. "Kenapa Ayah Ical gak mau Rara bertemu dengan si Juragan?"

"Ayah, Ayah gak pernah seperti ini..." Jirayut akhirnya angkat bicara. Merasa iba melihat Ayahnya tersudut seperti ini. "Pasti ada alasan kenapa Ayah melakukannya, kan?"

Ical merasakan dilemma. Di satu sisi, dia sudah berjanji dengan seseorang untuk tidak membongkar rahasia yang sudah dia simpan bertahun-tahun. Di sisi lain, melihat tatapan memohon Jirayut, pandangan bertanya Ridwan, juga sorot tajam mata Selfi yang seolah menantangnya untuk berbuat benar, membuatnya luluh.

Dan yang paling melemahkan hatinya adalah, melihat Rara yang tak hanya memandangnya dengan tanda tanya, tapi juga penuh harap. Ical bisa merasakan dari sinar matanya, ada harapan yang berusaha disimpan oleh anak itu didalam hatinya. Harapan untuk mengetahui orang tuanya, harapan untuk mengetahui siapa Ayahnya...

Rara...

Rasanya baru kemarin Ical melihat anak ini lahir dan digendong penuh haru oleh Ibunya pertama kali. Ia bahkan masih ingat tangisannya yang langsung terhenti ketika dibisikkan suara azan oleh sang Ayah. Masih terbayang jelas oleh Ical, betapa bahagianya Ayah dan Ibu Rara ketika putri mereka berjalan untuk pertama kalinya. Ia ingat betul, ketika Ayah Rara mengetuk rumahnya malam-malam, datang dengan tangisan bahagia, dan menghabiskan malam itu hanya untuk menceritakan betapa bangganya ia saat kata pertama yang putrinya ucapkan adalah "Papa..."

Dan kini, Rara tumbuh menjadi gadis cantik yang sangat pintar, dengan musikalitas yang ia tahu betul diwarisi oleh siapa. Namun gadis ini tak melihat apa yang pernah Ical lihat. Rara tidak tahu ada seorang Ayah yang sedang menunggunya. Gadis ini menghabiskan setengah hidupnya tanpa tahu ada sosok Ayah yang sangat mencintainya...

Dan mungkin Selfi benar, merahasiakan ini tidak adil untuk Rara. Mungkin memang sudah saatnya...

Maka, Ical pun menghela nafas panjang. Mengumpulkan keyakinannya, untuk mengungkapkan apa yang sudah lama dia simpan rapat-rapat.

A Million DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang