Run, Baby Run!

521 45 4
                                    

WOW.

Adalah kata pertama yang Selfi ucapkan dalam hati ketika menginjakkan kaki dirumah sang saudagar kaya. Bahkan baginya, yang tak asing dengan kemewahan, rumah ini sangat luar biasa megah.

Jika dari luar saja sudah terlihat seperti istana, ternyata didalamnya lebih luas lagi. Apalagi design interiornya yang memamerkan kekayaan kultur Jawa membuat Selfi benar-benar berada disebuah kerajaan. Ruang tamunya begitu lebar, dengan dua pilar besar yang gagah menjulang ditengah-tengah. Kalau dilihat dari ornamen-ornamen nya yang bertemakan Wayang, Selfi berani bertaruh si empu rumah adalah penggemar berat seni traditional Jawa.

"Buka aja topengnya, Nak! Ini temen Ayah Ical dulu, aman kok!"

"Tapi, Yah..."

"Udah, ga papa. Disini ga ada orang lain selain dia. Lagian ga sopan bertamu pake-pake topeng..."

Merasa Ical ada benarnya, Selfi pun membuka topengnya, dan menyangkutkannya di lipatan pita pakaian bagian pinggang.

"ICAL?"

Tiba-tiba terdengar suara sengau yang sangat halus nan merdu, yang bahkan dengan satu kata itu saja, Selfi bisa yakin sipemilik suara pandai bernyanyi.

"FILDAN?" Ical menyahut, gantian memanggil nama laki-laki paruh baya yang muncul entah darimana itu.

Dan kedua laki-laki itu pun saling memeluk, sambil tertawa-tawa seperti sahabat lama yang sudah lama tak saling jumpa.

"Apa kabar?" Laki-laki bernama Fildan itu kini merangkul pundak Ical dengan akrab. "Gilak, padepokan makin sukses aja, nih perut makin lebar!"

"Alhamdulillah baik... Ah ini mah belum apa-apa sama kamu. Pengusaha nomor satu di pulau Jawa! Ampe gemeteran nih saya dirangkul gini!" Jawab Ical, merendah. "Kapan pulang dari luar negeri?"

Oh, jadi dia si pengusaha kaya raya itu. Namanya Fildan. Tapi penampilannya sangat sederhana. Saat ini misalnya, di pestanya yang sebesar ini, Pria itu hanya memakai celana dasar, kemeja putih dan sendal jepit kulit.

"Baru aja, ini juga karena anak saya ngotot kalo khitanan minta dirayain disini!"

"Duh, kapan ya saya bisa keluar negeri..."

"Udah, ga usah sok merendah. Kita kan dulu temen seperjuangan. Saya bangga banget padepokan Wayang Golek kita ini bisa sangat maju kayak sekarang ini..."

"Gak lah, ini semua juga karena banyak yang bantu. Lagipula..."

Selfi berhenti menyimak pembicaraan keduanya, dan memilih untuk melihat-lihat sekitar rumah. Sembari memberi waktu untuk kedua sahabat lama itu bernostalgia, Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Jika memang Fildan dulunya juga anggota padepokan Wayang, wajar jika hampir disetiap sisi dinding rumahnya dipenuhi berbagai macam karakter dari kisah perwayangan. Sepertinya memang sengaja mengoleksi. Belum lagi ada satu lemari penuh berisikan pernak-pernik alat musik traditional.

Karena dipenuhi dengan barang-barang yang unik dan antik, Selfi merasa tertarik untuk mendekati lemari ini. Matanya menyapu setiap isi lemari itu dengan teliti, mengagumi setiap unit didalamnya. Sampai tatapannya terhenti pada sebuah figura foto lama, yang masih berwarna hitam putih. Foto berukuran 6R itu sudah sedikit usang, namun masih dapat dilihat jelas.

Foto itu menampilkan serombongan pemuda dan pemudi, memakai pakaian traditional jawa dengan background gamelan dan beberapa alat music traditional lainnya. Dibawahnya, ada tulisan yang sudah sedikit pudar, berbunyi : "PADEPOKAN WAYANG GOLEK SELATAN INDAH – 1968".

Tertarik, Selfi meneliti satu persatu wajah dalam figura tersebut. Ia terkikik geli, begitu mengenali Ical yang masih sangat muda, sekitar 16 tahunan, masih sangat kurus dengan tangan seolah akan memukul gamelan. Lalu ditengah-tengah, seorang pemuda memakai Jawi lengkap dengan satu tangan memegang Wayang, adalah Fildan. Sepertinya, dulu ia seorang Dalang. Lalu disebelahnya, ada seorang wanita muda yang tangannya digenggam erat oleh tangan Fildan yang satu lagi. Keduanya saling menatap seperti sedang jatuh cinta...

A Million DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang