Hit & Run

615 58 1
                                    


"SELFIII!!!!! MANA TEH!!"

Mata Selfi terbelalak, memandang Rara seakan meminta bantuan. Yang ditatap pun sama paniknya, tapi memilih untuk tidak menunjukkannya ke Selfi.

"Udah tenang, ini airnya udah mateng kok!" Tentu saja Rara berbohong, tapi saat ini menyelamatkan Selfi adalah prioritas utamanya.

Selfi pun tergopoh-gopoh menuangkan air panas itu kedalam gelas yang ia sudah siapkan tadi. Namun....

"SELFI!"

Mereka terlambat. Karena Reza sudah lebih dulu menghampiri ke dapur.

"Kamu ga denger Ayah teriak?" Bentak Reza. Membuat Selfi makin gemetar.

"Teh.. tehnya lagi disiapin, Yah..."

PLAAAAKKKK!!!!!

Yang terjadi barusan benar-benar mengagetkan Rara. Reza yang murka menampar Selfi dengan kerasnya. Sangat keras, hingga membuat sang anak tersungkur dan bibirnya berdarah.

"Kamu udah berani jawab?" Reza membentak lagi. Dari setelan jas nya yang berantakan, Rara yakin Ayah sahabatnya ini sedang mabuk. Dan ini bukan pertanda yang baik.

"Ma.. maaf Ayah..." Selfi mencoba meminta simpati sang Ayah, namun tak berarti. Reza malah makin kalap, dan sekarang malah menendang Selfi dengan kencang, membuat sang anak terkesiap.

"Kamu ga berenti-berentinya bikin kesel ya! Anak ga berguna, bikin teh aja ga bisa!" Reza menendang lagi. "Kenapa ga kamu aja sih yang mati!"

Tak peduli tangis riak sang anak, tak peduli bercak darah yang ditumpahkan darah dagingnya sendiri, Reza kembali mengambil ancang-ancang untuk menendang Selfi. Selfi yang tak berdaya, reflek memegangi kepalanya, menutup matanya, melindungi dan mempersiapkan diri menerima tendangan menyakitkan itu lagi....

Namun tendangan itu tak pernah sampai. Selfi pun membuka matanya. Ternyata Reza tak pernah berhasil mengenai tubuhnya karena Rara memegangi kaki sang Ayah, bersimpuh memohon agar Reza berhenti menyakiti sahabatnya.

"Jangan tuan... Rara mohon, udah cukup... kasihan kak Selfi..." Sambil berurai air mata, Rara memohon sang Tuan.

Bukannya Iba, Reza malah semakin murka. Ia pun menyentakkan kakinya kuat-kuat, membuat Rara terjungkal ke belakang.

"Kamu lagi!" Bentak Reza, kini berbalik mendekati Rara. "Kamu lagi yang ikut campur!"

PAAAK! Satu tendangan kembali diluncurkan, tp kali ini mengarah ke Rara.

"Saya sudah peringatkan kamu untuk ga ikut campur!"

PAAAAK!!! Tendangan kedua kembali mendarat ke tubuh Rara.

"Ga tau diri kamu!"

PAAAAK!! Tendangan ketiga, dan Reza tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Malah, sekarang ia menendangi Rara ditiap kata yang ia ucapkan.

"SAYA. SUDAH. BILANG. JANGAN. IKUT. CAMPUR!" Satu tendangan ditiap jeda kata. Entah kerasukan apa, Reza seperti tertutup mata hatinya. Amarah sudah membutakan hati nuraninya.

Rara hanya pasrah. Ia hanya terisak. Biarlah ia yang menerima, asal bukan kakaknya. Tubuhnya sendiri sudah kebas, syaraf nya seakan sudah mati karena tak tahan menerima hujan tendangan dari Reza. Hujan tendangan yang seperti tak ada hentinya, sampai.....

PRAAAAANGG!!!

Hujan tendangan itu berhenti sedetik setelah suara itu terdengar. Rara memberanikan diri membuka mata, hanya untuk dikejutkan oleh pemandangan yang membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.

Reza kini tertelungkup dilantai, dengan darah mengucur dari kepalanya. Berdiri kaku di sebelahnya, adalah Selfi, dengan tangan gemetar memegang pecahan piring. Ada sedikit percikan darah di wajah ketakutannya.

Tak perlu jenius untuk tau apa yang barusan terjadi. Selfi telah memukul kepala Ayahnya dengan sebuah piring. Selfi memukul Ayah nya sendiri, untuk menyelamatkan Rara.

Dan kini, Ayahnya tersungkur tak sadarkan diri dengan darah berceceran dimana-mana.

Tanpa pikir Panjang, Rara pun bangkit dan berlari ke arah Selfi. Dengan hati-hati melepaskan pecahan piring ditangan kakaknya, lalu mendekapnya erat.

Tangis Selfi pun pecah. Sungguh ia tidak bermaksud melakukan hal itu kepada Ayahnya. Hanya saja.... Hanya saja Rara...

Selfi tak sanggup mengingatnya. Ia bahkan tak tahu harus bagaimana. Rasa takut dan bersalah mengambil alih dirinya. Sekarang ia hanya bisa terisak dipelukan sang adik.

Bagaimana kalau... Bagaimana kalau Ayahnya......

"Kak...." Rara tiba-tiba melepaskan pelukannya. "Kak... tuan Reza..."

Tak perlu disuruh dua kali, Selfi pun langsung membalikkan badannya, melihat keadaan sang Ayah. Disana, dilantai, meskipun sangat pelan, tapi Selfi melihat ada gerakan dari Ayahnya. Selama sepersekian detik ada perasaan lega luar biasa didadanya.

Sampai....

"Polisi...." Pelan, sangat pelan, tapi sangat jelas ditelinga Selfi dan Rara.

"Panggil polisi... Penjara..." Reza pingsan kembali. Namun dalam sesaat kesadarannya, meski dengan terbata-bata, Reza menyiratkan dengan jelas ancamannya. Dan ini sangat cukup untuk membuat kedua gadis sahabat itu ketakutan setengah mati.

"Dek, gimana ini, Kakak ga mau dipenjara dek... kakak ga mau..." Tangis Selfi kembali pecah. Tubuhnya gemetar hebat. Rara, yang sama sama takutnya, memeluk erat kakaknya. Otaknya berfikir keras. Tidak, tidak, ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

"Kak Selfi dengerin Rara!" Gadis yang lebih muda itu melepaskan pelukannya, lalu memegang kedua bahu kakaknya dengan erat, memastikan sang kakak bisa mendengarkan instruksinya dengan baik. "Sekarang kak Selfi kekamar, kemasin baju dan barang-barang berharga kakak."

Selfi membelalakkan matanya tak percaya. "Tapi dek..."

Tapi Rara mengguncangkan tubuhnya sekali lagi. "Kak Selfi dengerin dulu! Rara ga akan biarin kak Selfi masuk penjara, pokoknya ga akan. Kakak percaya ama Rara kan?"

Selfi hanya mengangguk.

"Pokoknya sekarang keatas, bawa barang dan baju seadanya aja. Lalu tunggu Rara di depan rumah. Pokoknya langsung keluar, jangan tengok kanan kiri atau ke dapur lagi"

"Kamu mau ngapain dek?"

"Nanti Rara jelasin, pokoknya Selfi harus ikutin apa yang tadi Rara bilang!"

Selfi tak tau harus bagaimana. Ia sangat sangat sangat bingung.

Rara kembali mengguncang tubuhnya. "Kak Selfi ngerti ga?"

Selfi kembali mengangguk.

"Kita udah ga ada waktu lagi. Sekarang kak Selfi keatas. Kita ketemu 10 menit lagi didepan!"

Selfi tahu, sangat tahu, apa yang Rara rencanakan. Otaknya sendiri seperti berteriak, memberontak berkata bahwa apa yang akan mereka lakukan adalah sangat sangat sangat berbahaya.

Tapi hatinya berkata lain. Hatinya yang percaya sepenuhnya dengan Rara membuatnya yakin ia melakukan hal yang benar. Hatinya tau, meski berbahaya, ini adalah satu-satunya jalan. Dan Rara, dengan lantang menyuarakan jalan keluar itu.

"Kita pergi dari sini!"

A Million DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang