‣ second letter

510 142 0
                                    

"Pagi, Satya!" seru Sabiela di depan rumah Satya.

Gadis itu berjalan beberapa langkah mendekat ke arah gerbang rumah Satya. "Gue berangkat bareng lo, ya." pinta Sabiela kepada Satya yang tengah mengeluarkan motornya dari dalam garasi.

Entah berapa kali Satya menghela nafasnya saat berhadapan dengan Sabiela. "Lo bisa berangkat sendiri. Hobi banget lo ngerepotin gue."

Sabiela menempelkan wajahnya kepada gerbang yang masih tertutup itu. "Ih, Satya! Gue mau hemat ongkos buat beli telur gulung banyak-banyak di sekolah." katanya dengan nada merengek.

"Ongkos apaan. Lo ke sekolah dianter sama Papa lo. Gausah bohong sama gue."

"Hari ini Papa berangkat diluan. Jadi, gue disuruh naik ojek online." Sabiela mengerucutkan bibirnya.

"Nah, lo disuruh naik ojek online bukan naik motor gue." Satya memasangkan helm di kepalanya.

Sabiela tersenyum jahat ketika melihat Brigitha — Mama Satya keluar dari pintu rumah. "TANTE, SATYA PELIT! GAK MAU KASIH TUMPANGAN KE AKU! TOLONG DONG TANTE, BILANGIN KE SATYA!"

Anak setan. batin Satya menahan kesal.

Brigitha berjalan ke arah Sabiela dan membuka gerbang rumahnya. "Astaga, Satya. Kenapa gerbangnya gak dibukain? Kasihan Sabiela."

"Biarin aja, Ma." ucap Satya tak peduli.

"Udah, jangan berantem terus." lerai Brigitha. Wanita itu menatap Satya, kemudian berkata, "Satya, kamu an — "

"Iya, Ma. Aku anterin si cewek gil — maksudnya Sabiela."

Brigitha tertawa kecil, kemudian mengangguk. "Yaudah, cepet berangkat sana, nanti telat. Kamu 'kan ketua Osis, masa telat."

Satya mengangguk patuh. "Iya, Ma." lelaki itu menghidupkan mesin motornya, kemudian menatap Sabiela. "Naik lo, cewek gila."

Sabiela tertawa kecil. Gadis itu berjalan mendekat ke arah motor Satya dan duduk di belakang lelaki itu. "Udah nih, sayang. Ayo berangkat!"

๑ ⋆˚₊⋆ ──── ʚ˚ɞ ────⋆˚₊⋆ ๑

"Akhirnya sampai." Sabiela turun dari motor Satya.

Satya membuka helm dan menyisir rambut hitamnya ke belakang dengan kedua tangannya. Sabiela melongo. Tampannya Satya ini seperti susah sekali untuk tergapai.

"Apa lo lihat-lihat gue?"

Sabiela memasang raut wajah jengkel. "Ih, Satya ini marah-marah aja terus."

"Suka-suka gue." balas Satya.

"Gantengnya." Sabiela tersenyum.

"Emang gue ganteng."

"Emang gue bilangin lo?"

"Iya."

"Sok tau."

"Lo suka gue."

"Emang. Lo suka gue gak?"

"Gak demen yang namanya Sabiela sih gue."

Dan terjadi lagi. Sabiela memukul lengan Satya. "Gue mau kasih sesuatu nih buat lo."

"Habis mukul bukannya minta maaf." dengus Satya memegang lengannya yang dipukul oleh Sabiela.

"Suka-suka gue dong, Satya."

"Barbar amat lo."

"Suka-suka gue dong, Satya."

"Ngeselin banget." kata Satya kesal. "Mau kasih apaan lo sama gue?" tanya lelaki itu kemudian.

Sabiela membuka tas ranselnya yang berwarna pink dan mengambil sebuah kertas.

Surat lagi. batin Satya ketika melihat sebuah kertas ada di genggaman tangan Sabiela.

"Kok surat lagi sih?" decak Satya.

Sabiela menatap Satya kesal. "Terus lo mau apa?! Surat harta warisan?!"

"Boleh." celetuk lelaki itu santai.

Bukan memukul, kali ini Sabiela menendang lutut Satya. Untung pelan. "Ya, masalahnya gue gak gamau. Lagian 'kan gue udah bilang kalo ada tiga surat lagi."

Satya berdehem.

Sabiela menyodorkan suratnya ke arah lelaki itu dan Satya pun menerimanya dengan malas. "Jangan lupa dibaca terus simpan. Surat yang kemarin juga jangan hilang. Pokoknya jangan ada satupun surat yang gue kasih ke lo itu hilang."

"Kalo hilang?"

"Gue penjarain lo seumur hidup di hati gue tanpa pembebasan bersyarat."

"Oke, gue baca, gue simpan, dan gak gue hilangin juga." kata Satya cepat setelah mendengar perkataan Sabiela barusan.

๑ ⋆˚₊⋆ ──── ʚ˚ɞ ────⋆˚₊⋆ ๑

see u soon in next chapter! 💕

❝ love letters ❞ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang