Chapter 23

8 1 0
                                    

"Semesta semakin berbahagia begitu melihat takdir kedua anak manusia itu semakin dekat. Labirin benang merah menantinya sudah sangat lama."
√√√√√

Akhir pekan seperti ini menjadi surga dunia bagi seorang pelajar. Tumpukan tugas pun tidak menyulut rasa senang itu. Begitu juga yang dirasakan Kara. Ia hanya ingin tidur sebentar lagi saja. Tubuhnya mau remuk akibat pembelajaran dan tugas selama seminggu ini. Ia butuh istirahat sejenak. Namun sepertinya tidak bisa sebab sang abang tercinta, Fero sudah membangunkan dirinya pukul 07.00 dan itu pun dengan cara yang kasar. Alasannya sama seperti minggu-minggu sebelumnya, yaitu check up.

"Bang bisa kan bangunin Kara dengan cara yang manusiawi?" ucap Kara kesal. Bagaimana tidak, gendang telinganya mau meledak saja begitu ada tiga jam alarm yang bertengger di kasurnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Fero.

"Gak bisa. Abang udah paham banget sama kebiasaan kamu Kara. Jadi untuk mengantisipasinya ya itu cara abang. Kamu akan selalu cari alasan supaya gak check up. Udah deh gak akan bisa. Sekarang kamu siap-siap. Tiga puluh menit lagi kita berangkat. Papa udah ke RS duluan," jawab Fero panjang lebar dengan tangan berkacak pinggang melihat kelakuan adik kesayangannya itu.

"Ya udah kalo gitu. Abang keluar dari kamar Kara sekarang. Kara mau mandi. Tahu kan pintu keluar yang mana?" Kara sudah duduk tegak diatas kasurnya. Sia-sia selalu alasan dia setiap kali mau mangkir dari jadwal rutin check up.

Fero melangkahkan kaki keluar dari kamar Kara. Ia harus menyiapkan sarapan untuk keduanya sebelum berangkat sesuai pesan sang papa tercinta. Ia memilih memasak nasi goreng agar lebih praktis. Hidup udah ribet gak usah diribetin lagi ya!

Tiga puluh menit sudah berlalu, namun batang hidung Kara belum kelihatan. Fero sudah sangat sabar dari tadi. Rasanya ia ingin berteriak sekencang-kencangnya memanggil adik perempuan kesayangannya itu. Selalu seperti ini. Kara memang sengaja memperlama diri agar tidak jadi pergi. Namun, Fero tidak akan membiarkannya kabur begitu saja.

"Kara ayo turun. Lima menit abang tunggu. Kalo enggak, siap-siap ya koleksi novel kesayangan kamu itu abang bakar," teriak Fero kesal.

Mendengar teriakan abangnya, kuping Kara berdengung. Dengan menghembuskan nafas panjang, ia bergegas turun. Ia tahu Fero tidak akan pernah main-main dengan ancamannya itu. Kara sungguh tidak rela jika novel kesayangannya itu dibakas ya. Hellow apa kata dunia.

Begitu melihat Kara perlahan menuruni tangga, Fero menghembuskan nafas lega. Akhirnya si keras kepala itu tidak berulah. Fero menyiapkan sepiring nasi goreng ke hadapan Kara begitu ia menarik kursi. Dua bersaudara itu pun makan dengan hening. Sepuluh menit kemudian, Fero membereskan meja makan dan langsung mengambil kunci mobil. Sedari tadi sang papa sudah mengomel di whatsapp.

"Ayo," ajak Fero pada Kara yang sedang melamun. Kara hanya diam tak menyahut. Kakinya langsung saja berjalan mengikuti Fero. Perlahan mobil itu meninggalkan pekarangan rumah mereka.

Tidak butuh waktu lama bagi keduanya untuk sampai di Rumah Sakit
Kara dan Fero bergegas menemui ayah mereka yang sudah di ruangan dokter spesialis jantung. Kara hanya diam menurut selama pemeriksaan rutin itu berlangsung. Dan ia juga sedang malas berdebat dengan kedua laki-laki yang super cerewet kesayangannya itu.

"Bagaimana dok?" Rudi menanyakan hasil pemeriksaannya.

Dokter tersebut tersenyum simpul melihat ekspresi rekan sesama dokternya itu. Akan selalu seperti ini jika pemeriksaan rutin terjadi. Dengan nada tenang ia menjawab, "Jantungnya baik-baik saja. Tapi kita masih harus kontrol empat sampai enam bulan kedepan ya. Jangan lupa tetap diminum obatnya Kara. Begitu selesai kontrol terakhir kamu bebas kok. Ditahan dulu ya bandelnya," terang Dokter Arka.

Kara hanya menganggukkan kepalanya paham. Sebab tidak ada gunanya ia membantah omongan dokter barusan. Nanti memperkeruh masalah ujungnya. Kara berdeham pelan untuk menarik perhatian ketiganya, "Aku keliling rumah sakit bentar ya," pamit Kara langsung berlalu. Ia perlu udara sejuk untuk mendinginkan pikirannya yang berkecamuk. Taman rumah sakit menjadi tujun Kara.

Angin melambai-lambai menggerakkan udara segar dengan perlahan. Seolah menghipnotis siapa saja untuk rileks kembali. Begitu pun dengan sosok Kara. Dengan mata terpejam, ia menghirup udara dalam-dalam dan merasakan ketenangan yang sedari tadi ia cari. Rasanya Kara ingin seperti ini selamanya. Tenang damai sentosa. Namun, tidak mungkin hal tersebut terjadi. Alam semesta bukan seratus persen malaikat bagi manusia. Ia akan berubah menjadi iblis mengerikan dalam waktu sekejap. Dan Kara paham bahwa memang seperti itulah kehidupan berjalan. Hanya 15 menit Kara bertahan dengan posisi tersebut, karena sepertinya ada yang sedang menatapnya dalam ingin tahu. Ia membuka mata perlahan dan melihat sosok anak kecil yang terlihat familier. Siapa ya? Batin Kara bertanya.

"Kakak cantik ini temannya bang Kevin kan?" suara cadel itu menggema di telinga Kara. Kara hanya menganggukkan kepalanya ragu. Sebab ia bingung mau jawab apa.

Mata hitam legam itu menatap Kara polos seolah menelanjangi seluruh perasaan Kara. Rasa sakit yang selama ini ia kubur dalam-dalam memaksa keluar. Awan gelap itu kembali membawa kelabu kesesakan yang begitu menyakitkan.
Air mata mengenang di pelupuk mata Kara. Sedikit saja mengedipkan mata luruh sudah semua. Namun, sentuhan di telapak tangannya menarik kesadaran Kara bahwa ia harus baik-baik saja.

"Kakak cantik jangan nangis dong. Kalo kata bang Kevin, pelangi akan selalu datang setelah hujan. Jangan nangis kakak cantik. Nanti jadi jelek."

Ucapan anak perempuan itu menampar Kara telak. Anak seusia dia sudah mengerti bagaimana semesta bekerja. Kenapa Kara melupakannya? Bahwa setiap kesedihan akan dibalas dengan kebahagiaan. Entah kapan waktunya tapi hal itu pasti terjadi. Percayalah!

*****

Maafkan aku yang lama update ya. Semoga kalian suka. Tetap di rumah aja ya teman-teman. Semoga bumi segera pulih seperti sedia kala. Stay healthy guys!

All About RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang