Chapter 16

72 5 0
                                    

"Sesak menikam dadanya terus menerus. Rasa rindu itu makin merajalela. Lelah akan semua keadaan. Tapi ini belum berakhir. Tunggu saja!"
√√√√

Petang sudah berlalu menyisakan kesunyian malam yang sepertinya sedikit lebih mencekam. Angin berhembus dengan kencang meninggalkan udara dingin yang mampu menusuk tulang. Walaupun suasana seperti itu, Kevin tetap tidak beranjak dari bangku sebuah taman di tengah kota Jakarta.

Sudah dua jam berlalu, Kevin hanya diam membisu dengan tatapan lurus dan kosong. Ia kembali mengenang masa itu. Masa dimana dunia selalu berpihak padanya. Kebahagiaan menghampirinya hampir setiap saat. Tidak ada rasa hampa yang menyesakkan dada seperti saat ini. Kevin benci suasana seperti ini. Ia rasa hatinya terlalu peka akan keadaan. Sudah dua kali dalam hari ini dia begini.

Dimana Kevin yang dingin? Kenapa harus lebay begini karna hanya seorang perempuan? Dimana hati Kevin yang sudah mati itu? Kenapa rasa rindu itu tidak hilang-hilang? Dimana muka datar yang selalu ia tampilkan pada orang lain? Kenapa cuma gara-gara pernyataan tentang menyukai hujan hatinya jadi tidak karuan begini?

Semuanya terasa rumit sekarang seperti memecahkan soal matematika dasar. Rasa sesak itu terus saja mendesak untuk keluar. Kevin sudah capek akan semuanya. Tetapi sepertinya semesta belum ingin menghentikan permainannya.

Kevin menghembuskan nafasnya kasar. Seolah ia ingin membuang semua yang mencongkol dihatinya. Setelah itu, ia bergegas pergi meninggalkan taman yang selalu menjadi saksi bisu tentang kerinduan itu.

*****

"Bang Fero, cepet dong!" teriak Kara dari ruang tamu rumahnya.

"Teriakan kamu mengganggu tetangga sebelah, Kara," ucap Rudi lembut dengan nada sedikit geli.

"Hehehe." Kara hanya nyengir lebar mendengar ucapan ayahnya. Lagian siapa yang tidak kesal kalo orang yang ditunggu-tunggu belum nongol juga. Padahal sudah 30 menit berlalu. Rasanya Kara ingin menabok wajah abangnya itu dengan menggunakan balok kayu. Tapi gak jadi deng, itu kan perbuatan dosa.

"Pa, suruh bang Fero cepet dong. Kara udah pengen belanja banget nih," rengek Kara manja.

Rudi mengelus rambut putri tunggalnya itu dengan sayang. Ia akan selalu berusaha agar senyum itu tidak hilang dari wajah Kara. Karna ia tidak akan mau mengulang kesalahan yang sama lagi. Cukup sekali ia merasa kehilangan.

"Fero, cepat turun sebelum papa yang naik ke atas," ucap Rudi dengan nada perintah.

Bisa kita tunggu dalam hitungan ketiga Fero pasti akan turun. Dan memang terbukti, Fero sudah berada di anak tangga ketiga lengkap dengan kaos putih yang dipadu dengan bomber jacket dan celana jeans hitam serta sepatu berwarna hitam dengan logo tiga garis. Fero sudah senyum-senyum tidak jelas begitu ia melihat wajah cemberut adiknya itu. Siap-siap deh.

Kara langsung muak begitu melihat wajah polos yang ditampilkan abangnya itu. Dengan kaki yang sedikit dihentak-hentakkan Kara langsung menyelonor keluar.

"Kamu lihat kan Kara udah ngambek. Jadi papa gak mau tau, kamu harus tanggung jawab atas kesalahan kamu," tutur Rudi dengan penuh penekanan di tiap katanya.

Fero menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Iya pa. Fero bakal minta maaf kok. Papa tenang aja ya."

"Ya udah, ayo! Sebelum ratu kita berubah lebih ganas lagi," ajak Rudi sambil merangkul bahu Fero akrab.

All About RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang