Chapter 7

76 8 2
                                    

"Ketidaksengajaan membawa sepasang insan ini kembali pada garis takdir yang dibuat semesta."
√√√√√

Kevin berjalan di sepanjang koridor dengan kedua tangan di masukkan ke dalam saku celana abu-abunya. Terlihat bahwa begitu banyak para siswi yang menatap kagum ke arahnya. Tapi, Kevin terlihat acuh, tidak memperdulikan sekitarnya.

Terdengar teriakan dari ujung koridor, "Kara berhenti lo!"

"Gak mau akh, Vik. Udah keburu jauh Vik jadi gak bisa berhenti nih." Kara berlari sambil membawa sebuah bekal.

"Awas aja lo, Ra. Bekal itu kan dibuat om Rudi sama kita berdua. Bukan sama elo doang," jerit Viko geram.

"Enak aja lo. Yang buatkan bokap gue. Ya suka-suka gue lah," balas Kara sengit tanpa mengurangi kecepatan larinya. Kara tidak menyadari bahwa lantai koridor masih dalam keadaan basah karena baru saja dipel. Dan apa yang di takutkan pun terjadi.

Bruk

Kedua pasang mata itu kembali beradu untuk kedua kalinya. Terlihat pancaran mata keduanya sama-sama saling meneduhkan. Tidak ada yang tahu bahwa semesta telah menyita seluruh dunia untuk memulai permainan takdirnya.

"Ekhem....." terdengar dehaman yang dapat menyadarkan kesadaran Kara dan Kevin. Mereka sama-sama merasa bahwa tadi seolah-olah waktu berhenti sebentar agar mereka dapat saling menyelami lewat mata yang katanya tidak pernah berbohong.

"Gue ambil bekalnya ya, Ra. Lo lanjutin aja tatap-tatapannya sama si Kevin. Dah!" Viko terkekeh pelan melihat muka merah menahan malu dari wajah keduanya.

Begitu Viko pergi, Kevin melepaskan tangannya dari pinggang Kara setelah tubuh Kara didirikannya tegak. Kevin merasa bahwa ada magnet di dalam tubuh Kara yang selalu menariknya untuk mendekat. Perlahan tapi pasti hati yang beku itu akan meleleh. Tapi, Kevin belum menyadarinya. Mungkin suatu saat nanti.

"Makasih ya lo udah nolongin gue," ucap Kara dengan senyum tulus yang menghiasi wajahnya.

"Hm...Sekali lagi kalo jalan hati-hati. Gue rasa masa kecil lo suram makanya elo lari-larian di koridor. Bocah banget sih," cetus Kevin sarkas. Kevin kembali melanjutkan jalannya yang tadi sempat tertunda.

Ngeselin juga nih cowok. Dasar balok es batin Kara menggerutu.

"Oh iya, gue baru ingat." Kara menepuk jidatnya sedikit keras. "Bekalnya kan udah diambil Viko tadi. Awas aja tuh anak!" gumam Kara sambil berjalan ke arah kelasnya dengan wajah menahan kekesalan.

*****

"Namanya Kara Arwantha, kelas XI IPA 2, pindahan dari Bandung," ucap Arga datar.

Kevin hanya mengerutkan keningnya seakan berkata, "Siapa sih maksud lo?"

"Lalo lo. Maksud gue, cewek yang kemarin berani ngelawan elo itu namanya Kara," jawab Arga sedikit gondok.

"Oh, thanks udah lo kasih tahu sama gue. Sekarang gue tau mau ngapain tuh bocah." Kevin tersenyum miring.

"Maksudnya?"

"Cuma mau main-main sebentar."

Siapapun yang melihat Kevin sekarang pasti bergidik ngeri melihat seringai liciknya. Mungkin Kevin hanya bermain-main saja. Tapi dia tidak tau bahwa ucapannya tadi adalah bentuk persetujuannya dengan permainan semesta. Permainan seperti labirin. Satu kata yang mewakilinya. Misterius.

"Emang elo mau ngapain dia Vin?" tanya Arga penasaran.

"Kepo!" jawab Kevin singkat, padat, dan jelas.

"Terserah elo deh mau ngapain. Tapi ingat Vin, jangan terlalu benci sama cewek ntar elo sendiri yang jatuh cinta lagi," ucap Arga serius.

"Ingat Vin, sekali elo memulai suatu permainan, elo harus main sampe akhir. Dan jangan lupa, permainan ini taruhannya hati bukan barang ataupun uang. Elo pasti tau dong istilah hukum karma."

"Gue tau apa yang harus gue perbuat ga. Thanks atas nasehat lo dan gak usah khawatir. Gue bakal baik-baik aja kok." Kevin menepuk pundak Arga kemudian berjalan menuruni tangga.

Semesta tersenyum lebar begitu tahu bahwa Kevin telah menekan tombol start. Rencana permainan takdir oleh semesta pun akan berjalan dengan hukum alam. Tidak ada kata ampun pada siapapun yang menentangnya.

*****

Maaf ya pendek soalnya lagi sibuk banget ;)
Jangan lupa voment ya

All About RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang