Chapter 15

65 3 0
                                    

"Untuk kali ini hujan membawa kenangan indah buat Kevin."
√√√√√

"Ra, gak papa nih gue tinggal?" tanya Thata memastikan keputusan Kara untuk kesekian kalinya.

Walaupun dibilang tomboy, Thata masih memiliki perasaan khawatir terhadap orang lain terutama itu sahabatnya. Apalagi cuaca sore itu sangat mendukung rasa cemas Thata untuk makin meningkat. Di atas sana awan pekat mulai menyelimuti langit pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Thata tidak bisa pergi begitu saja meninggalkan Kara seorang diri di halte. Walaupun itu di depan sekolah mereka. Kara sudah meyakinkan dirinya berulang kali bahwa taksi pesanannya akan tiba 15 menit lagi. Tapi tidak ada yang tahu kan apa yang bakal terjadi selama itu.

"Gue tungguin aja deh sampe taksi pesanan lo datang," putus Thata final.

"Gak usah, Tha. Gue bisa sendiri kok. Lagian elo kan lagi buru-buru mau balik. Gue gak papa kok. Santai aja!" ucap Kara berusaha meyakinkan Thata.

Sebenarnya jauh di dalam lubuk hari Kara, ia takut. Suasana halte yang sudah sepi sejak tadi ditambah lagi cuaca mendung yang seolah-olah membuat semuanya tambah runyam. Kesunyian yang mencekam terasa begitu lekat dirasa Kara detik itu. Tapi, Kara berusaha menyembunyikannya dari Thata.

"Lo balik aja duluan, Tha," lanjut Kara berbicara sambil mendorong tubuh Thata ke arah mobil jemputannya.

"Lo yakin nih?" tanya Thata sekali lagi. Membuat Kara langsung menganggukkan kepalanya cepat.

Thata menghela nafas sebentar kemudian berusaha mengusir pikiran negatif yang sedari tadi bertengger dibenaknya. "Ya udah, gue balik ya. Telepon gue 15 menit lagi," perintah Thata tanpa bisa dilawan.

"Iya Thata," gumam Kara dengan nada malas.

Begitu mobil jemputan Thata berjalan menjauhinya, Kara langsung menoleh ke kanan dan ke kiri. Ada perasaan was-was yang tiba-tiba muncul di otak Kara. Ia mencoba memperhitungkan jarak antara pos satpam ke tempatnya saat ini. Ya sekitar 100 meter lah.

Kara selalu membenci kesunyian karna membuat semua terasa lebih menyeramkan. Ia berusaha untuk tidak berpikiran negatif. Tapi mau gimana lagi namanya parno. Apapun pasti dibayangin. Sebelum imajinasinya semakin liar, Kara memutuskan untuk duduk kembali.

Tiba-tiba sebuah sedan hitam berhenti tepat di hadapan Kara. Ia sudah mempersiapkan diri untuk lari. Tapi itu gak perlu karna yang mengendarai sedan tersebut adalah si manusia es, Kevin. Kevin berjalan ke arah Kara dengan santai seolah-olah dia gak pernah bermasalah dengan Kara. Kara hanya diam membisu. Begitu juga Kevin. Pandangan keduanya hanya lurus ke depan.

"Kenapa belum pulang?" tanya Kevin memecahkan keheningan diantara keduanya.

"Lagi nunggu taksi pesanan datang," jawab Kara berusaha santai walaupun pada kenyataannya ia gugup setengah mati.

Kevin menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Tidak tahu kenapa hatinya terketuk untuk hanya sekadar menemani Kara duduk bersebelahan di halte. Ada rasa khawatir yang tiba-tiba muncul.

Kara berusaha mengalihkan pikirannya dari sosok Kevin. Ia mencoba untuk tidak jatuh kedalam pesona si ice boy. Kalau sampai hal itu terjadi berarti sudah terjadi keajaiban dunia yang sangat langka.

Mending gue lihatin hujan daripada dia batin Kara berbisik. Kara mulai menatap tetes-tetes air hujan yang turun membasahi bumi. Sudut bibirnya mulai terangkat ke atas dan membentuk senyum yang lebar. Perasaannya menghangat begitu mengingat kenangan itu. Rasa rindunya kian berkuasa.

"Lo kayaknya suka banget sama hujan?" suara Kevin tiba-tiba membuyarkan lamunan Kara yang sudah kemana-mana.

Refleks kepala Kara langsung menoleh ke arah Kevin. Kemuadian ia menjawab dengan semangat, "Iya."

"Pantes lo kayak orang gila barusan. Senyum-senyum gak jelas sambil ngelihatin hujan turun," ungkap Kevin santai tanpa menghilangkan nada sinis di suaranya.

Kara hanya tersenyum kecut sebentar mendengar ucapan Kevin. Entah kenapa tidak ada yang bisa menghancurkan mood bahagia dia saat hujan turun.

"Pasti kakak anggap aku ini melankolis karena suka hujan. Kakak mau tahu gak apa alasan aku suka hujan? Aku suka hujan bukan karna ada anggapan bahwa hujan bisa menghapus air mata, menyamarkan jejak atau bahkan menghilangkan bekas luka. Itu hanya alasan klise buat aku. Bagi aku hujan itu anugerah yang artinya sumber kebahagiaan. Banyak hal yang bisa aku pelajari dari hujan. Terutama tentang keikhlasan dan harapan. Disaat hujan turunlah harapanku buat bertemu dengan pangeran berkuda putihku tambah semakin besar."

Kevi terdiam cukup lama mendengar jawaban Kara barusan. Seperti ada cubitan disudut hati terkecilnya. Ada perasaan asing yang menyelusup ke dada Kevin. Pecahan hati yang sudah hancur itu tiba-tiba tersentuh.

Melihat Kevin yang tiba-tiba terdiam bak patung, Kara memperhatikannya seksama. Pancaran mata itu mengusik kornea mata Kara. Ada sekelebak kisah suram disana dan Kara bisa melihatnya cukup jelas.

"Pangeran berkuda putih," gumam Kevin cukup jelas didengar oleh Kara.

"Iya. Dia seorang laki-laki yang penting buat saya. Itu hanya julukan," jawab Kara jujur.

"Maksudnya?" tanya Kevin karna sedari tadi ia kebingungan atas jawaban Kara yang sedikit ambigu.

Kara tidak menjawab. Untung saja taksi pesanan yang sedari tadi ditunggunya sudah datang. "Aku duluan ya, kak," pamit Kara buru-buru.

Sebelum taksi itu melaju, Kara sedikit membuka kaca kemudian tersenyum tulus ke arah Kevin. Untuk sesaat senyum itu terekam di memori otak Kevin dengan cepat. Semesta pun tersenyum melihat Kevin dan Kara sudah mulai bermain dengannya.

*****

All About RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang