* * *
Sekarang aku sama sekali tidak bisa tahu apa tanggapanmu, saat aku sedang membicarakan kita.
* * *
LALUNA langsung masuk ke dalam kamarnya ketika sampai di rumah. Ia menyandarkan punggungnya ke kepala kasur. Air matanya lolos begitu saja tanpa diminta. Ia memeluk tubuhnya sendiri, tidak menyangka jika hal itu dilakukan olehnya lagi.
Sejak Antariksa pergi, Laluna sudah dicap tidak waras oleh teman-temannya. Bahkan teman sekelasnya waktu SMA meminta dirinya pindah ke rumah sakit jiwa, dibandingkan harus mencari keributan di antara orang normal.
Laluna sendiri juga tidak ingin seperti ini namun kehadiran Antariksa dipikirannya membuat ia tidak tahu harus berbuat apa. Antariksa memenuhi seluruh diri Laluna, seolah-olah cowok itu memang tidak ingin pergi dari dirinya. Atau ... memang Laluna yang tidak memberikan izin Antariksa untuk pergi.
Sekarang kepalanya ia sandarkan di bantal agar menghindari benturan dari dinding. Laluna sudah coba mencegah agar dirinya tidak lepas kontrol karena menyakiti diri sendiri.
Bukan kedewasaan yang Laluna dapat diumurnya yang sekarang. Melainkan kesedihan yang tak pernah terhentikan. Semua orang yang mengenalnya tahu, ia begitu egois ke mereka, termasuk Antariksa. Egois karena ia tidak rela cowok itu pergi darinya, lebih tepatnya ia tidak bisa melupakan kesalahan dan janjinya kepada Antariksa.
Kesalahan karena dirinya dicintai oleh orang lain. Bahkan tanpa Antariksa menyuruh pun Laluna tidak akan mencintai cowok lain. Karena bagi Laluna, Antariksa adalah cinta terakhirnya.
"Non, gak makan dulu?"
Pintu kamarnya terbuka, Bi Sumi seperti biasa datang dengan khawatir pada keadaan Laluna. Namun cewek itu tidak menjawab malah memperhatikan ke arah jendela karena langit baru saja menumpahkan air dari atas sana.
Karena Antariksa, Laluna memang menyukai hujan namun ia dilema karena hujan yang sekarang tidak bisa membuat dirinya bersama Antariksa. Hujan tidak bisa membantunya bermain air lagi bersama cowok itu, kadang Laluna membencinya.
"Nanti Non sakit, yuk makan dulu!" Bi Sumi tak kenal lelah. "Apa Non mau keluar?"
Laluna menatap Bi Sumi dengan pandangan sedih. "Bi, Antariksa gak bisa di sini lagi. Saya harus gimana, Bi? Saya gak mau di bawah hujan kalau gak ada Antariksa."
"Tapi Non bisa bicara sama hujan lho. Bayangin kalau hujan itu adalah Den Anta." Bi Sumi menatap mata Laluna seakan anak majikannya itu masih seperti dulu yang sangat lucu. Namun selama empat tahun, keceriaan itu berubah. "Den Anta juga kan bisa berkomunikasi sama Non lewat hujan?"
"Bi, itu gak mungkin." Laluna menepis pendapat itu.
"Selain doa, kadang hal-hal yang disuka bisa jadi perantara bicara dengan orang yang sudah pergi, Non."
Laluna menunduk, memang semua yang disuka Antariksa-cowok hangat itu lebih menyukai hal dingin seperti hujan dan Laluna jadi menyukai apa pun yang Antariksa suka, namun ia juga tidak tahu ketika hal yang disukanya menjadi hal yang paling dibencinya.
"Semuanya masih gak baik-baik aja, Bi."
"Non, buat rame lagi?" Rame yang dimaksud mengenai keributan yang Laluna buat di dekat orang di sekitarnya.
Laluna mengangguk. "Saya gak bisa lupain kejadian itu." Sangat kelam sampai tidak bisa ia lupakan sama sekali. "Saya dicap gila sama semua orang di kampus, Bi."
"Apa perlu Bibi bilang ke Tuan dan Nyonya buat pindah kuliahnya, Non?" tanya Bi Sumi mencoba mencari cara agar Laluna tidak merasakan perih akan caci maki itu.
Laluna menggeleng. "Kalau saya pindah semua orang semakin mengira saya gila, Bi. Saya cuma harus bisa mengendalikan emosi. Walaupun kenyataannya saya gak bisa."
Bi Sumi mengusap puncak kepala Laluna. "Non, mandi aja kalau gitu. Sebagai gantinya hujan supaya gak buat Non nangis lagi."
"Bukan hujan, Bi, yang buat saya nangis." Laluna tersenyum tipis, namun air mata masih saja terjatuh ke pipinya. "Tapi Antariksa."
* * *
Terus vote komen dan share yaa
Semoga sukaa😊
FOLLOW INSTAGRAM
@ERLITASCORPIOFOLLOW TIKTOK
@ERLITASCORPIOTERIMA KASIH💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Bulan Tidak Pernah Ada
عاطفية[PEMENANG WATTYS 2021 KATEGORI "NEW ADULT"] "HEI!" Rasi, cowok itu kembali memanggil. Sejujurnya Rasi ingin bertanya kenapa dengan cewek itu, namun sepertinya terlalu lancang pada pertemuan pertama mereka. "Gue mau tau nama lo?" Cewek itu berhenti d...