Percikan itu rupanya masih ada.
Sehebat apapun logika menolak, hati tidak pernah berusaha berbohong. Dalam hidup, skala probabilitas terhadap perasaan memang yang paling kecil. Maksudnya disini, perasaan mudah berubah, layaknya persepsi. Dipengaruhi bagaimana lingkungan serta situasi dan kondisi.
Baekhyun memang berniat memaafkan Chanyeol. Tapi, tidak berniat membuatnya secepat itu mendapat jawaban. Pembalasan yang kerap ia tanamkan dalam logikanya begitu kuat. Hingga ia yakin ombak manapun tak kuasa menerpa.
Namun hari itu berbeda.
Alih-alih mendorong atau menampar sang pria, Baekhyun justru membalas ciumannya. Tidak panas, tidak menuntut, hanya sebuah ciuman lembut yang bergemuruh. Keduanya menggeliat dalam pelukan. Mata mereka tertutup, menikmati detik demi detik penuh syahdu.
Hujan lalu turun. Dingin menerpa tubuh mereka. Susu hangat itu baru habis setengah, tapi ciuman mereka berlanjut bahkan hingga saliva mengaliri leher Baekhyun. Chanyeol sendiri enggan melepas. Dia terlalu rindu. Terlalu mendamba.
Ddrrt drrt.
Getaran dari kantung celana Chanyeol menginterupsi. Perlahan, akal sehat Baekhyun pun kembali. Pemuda mungil itu membuka mata, begitu pun si pria tinggi. Keduanya melepas ciuman dan saling menatap dalam. Wajah Baekhyun memerah. Telapak tangannya mendorong pundak Chanyeol menjauh. Deheman yang lebih tinggi terdengar.
"Aku.." Chanyeol bergerak canggung. "...terima telepon dulu."
Baekhyun kembali menarik selimutnya dan mengangguk kecil. "O-okay."
Chanyeol menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Kuasanya mengambil telepon genggam dan melihat ID penelepon. Oh, ternyata Sehun.
"Ya? Ada apa?"
.
.
.
Rumah Baekhyun sore itu jadi ramai. Rupanya Sehun adalah sosok yang menelepon Chanyeol tadi. Ia mengabari kalau akan datang bersama Kyungsoo, membawa makanan titipan dari Minah, Ibu Jongin. Chanyeol tidak bertanya bagaimana mereka bisa bertemu Shin Minah, karena toh Sehun akan menceritakannya sendiri."Ibu Jongin mengajak kami mampir untuk makan dulu. Lalu membawakan makanan-makanan ini. Katanya tidak sopan menjenguk tapi hanya bawa kue."
Sehun akhirnya benar-benar bercerita. Cerita singkat itu direspon anggukan keras dari Baekhyun yang kini sibuk mengunyah, menyebabkan pipinya menggembung. Chanyeol terkekeh.
"Pelan-pelan. Nanti kau tersedak."
Chanyeol duduk di sisi paling pinggir, tempat dimana dispenser bisa lebih dekat diraih. Ia hanya makan sedikit. Tugasnya yang paling utama adalah menjadi 'tangan' bagi Baekhyun untuk mengisi gelas dengan air agar ia tidak dehidrasi. Tidak ada yang menyuruh Chanyeol begitu. Semua dilakukan secara otomatis dan reaktif.
"Oh ya, kau jadi menawarkan pekerjaan untuk Soyou Noona?" Sehun bertanya. Chanyeol membalasnya dengan anggukan.
"Tapi dia menolak. Katanya biarkan dia melamar pekerjaan seperti biasa. Tidak mau dispesialkan."
Sehun mengernyit. "Tapi, maafkan aku, dia hanya lulusan SMA. HRD perusahaanmu mungkin akan menempatkannya di posisi terendah. Apa itu tidak masalah?"
Chanyeol tertegun. Benar juga. Tapi jika dia memberi intervensi lanjutan pada tim HRD, Soyou mungkin akan membencinya. Dan hal itu adalah hal terakhir yang akan dia lakukan. Bisa gawat jika calon kakak iparnya itu berubah haluan menolak keberadaannya.
"Akan kupikirkan nanti."
Kyungsoo meresponnya dengan deheman. "Tapi kalau Soyou Noona bekerja, Baekhyun sendirian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[CHANBAEK!] Papa and Bean
FanfictionSebuah diari kehidupan Byun Baekhyun dan takdirnya yang pahit; menjadi orangtua tunggal dari sebuah janin. Lalu, siapa orang yang paling bertanggung jawab atas semua yang terjadi? Bercerita tentang ego dan penyesalan. CHANBAEK!