Irene terlahir dalam keluarga yang mengutamakan alasan atas sebuah kejadian. Semenjak lulus dan bekerja menjadi salah satu tim Park Enterprises, dirinya menunjukkan grafik baik dalam sistematik pekerjaan. Ia cenderung pemikir, peninjau solusi, dan negosiator yang baik. Impulsif bukanlah gayanya.
Tapi, hari ini, airmata Byun Baekhyun mengubah pandangan sesaat sang dara. Intuisinya berkata pastilah terjadi sesuatu. Kedua tangan yang tadi penuh memegang baki dan bekal bawaan Baekhyun kini dapat melenggang di sisi tubuhnya dengan anggun. Perlahan, pandangannya kembali jatuh bergantian pada bekal dan ruangan atasannya yang masih terbuka sedikit.
Irene menekan ego dan mulai bersikap masa bodo. Kuasa kanannya membawa bekal dan tungkai ia bawa melenggang memasuki ruangan. Hanya beberapa menit hingga figurnya sampai di dalam dan menemukan Yejin tengah menyiapkan minum untuk Park Chanyeol, atasan mereka.
Wajahnya memerah. Menahan amarah.
"Ah, Sekretaris Bae?" Yejin menegur dengan senyuman lebar. Matanya beralih pada bekal bawaan Irene dan menahan diri untuk tertawa meledek. Ia masih tahu diri jika Irene masihlah atasannya. "Anda membawa bekal untuk Sajangnim juga? Tapi Sajangnim sudah makan bekalku."
Malang sekali si gadis, bersikap apatis pada keadaan, namun merasa menang karena sikap fana yang bukan tujuan.
"Ya, aku membawa bekal, untuk Sajangnim." Irene menjawab dengan nada dingin. Chanyeol langsung melirik dengan penuh pertanyaan. Irene, si pelanggan kantin paling setia, memasak untuknya? Mustahil.
"Oh, sayang sekali." Yejin masih merasa menang, memasang wajah sok sedih yang ia pikir akan berguna. "Mungkin bisa lain kali, Sekretaris Bae?"
"Mungkin tidak ada lain kali." Tungkai Irene maju ke meja dan membanting kotak bekal tersebut di tengah masakan Yejin yang terhampar. Ia menatap tajam Chanyeol, atasannya sendiri. "Karena sepertinya, Tuan Muda Baekhyun tidak akan pernah mengantarnya lagi."
Bak tersengat listrik, Chanyeol mematung. Dunianya lalu mendung seiring bola matanya yang membulat terkejut. Petir di siang bolong baru saja menghampirinya dan tubuh tinggi itu berdiri dengan cepat, mengayun tungkai dan mengubahnya menjadi lari, keluar dari ruangan. Mengejar asa miliknya yang pergi.
Irene tertawa miris tak percaya. Matanya yang masih menajam dengan wajah memerah kemudian menatap Yejin. "Kau, datanglah ke ruanganku."
.
.
.Chanyeol berlari kencang menyeberangi lobby. Beberapa karyawan memberinya salam, tapi diindahkan, bahkan tak ditatap. Rambutnya sudah acak-acakan, tidak lagi tertata rapi seiring gerakan larinya yang kacau. Tungkai panjang Chanyeol berayun keluar, tidak peduli siapa yang dilewati, namun tidak ada yang ia cari.
"Chanyeol-ah?"
Pria tinggi itu buru-buru menoleh. Figur Soyou dan Junki memenuhi pandangan dan ia menjadi lebih kalut. Keduanya memandang penuh tanya, namun Chanyeol mengartikannya sebagai tatapan tuduhan.
"Noona." Ia berkata lirih dan memandang sang paman. "Siang, Paman."
Soyou tersenyum. "Aku mendapat kabar dari Kyungsoo jika Baekhyun kesini. Tapi aku belum bisa menghubunginya. Kau sedang bersamanya, Chanyeol-ah?"
Petir dalam kepala Chanyeol kembali menyambar. Telapak tangannya mengusap kasar wajah yang kini tambah berantakan; campuran kekalutan dan kebingungan. Junki menaikkan satu alis dengan penasaran.
"Sesuatu telah terjadi?" Ucapnya datar. "Chanyeol, dimana Baekhyun?"
Hati Soyou ikut bergetar, merasakan sesuatu aneh yang familiar, persis seperti hari berbulan-bulan lalu dimana ia menemukan surat Baekhyun di kamar. Bibirnya bergerak gelisah. Memori itu bangkit namun enggan ia sampaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[CHANBAEK!] Papa and Bean
FanfictionSebuah diari kehidupan Byun Baekhyun dan takdirnya yang pahit; menjadi orangtua tunggal dari sebuah janin. Lalu, siapa orang yang paling bertanggung jawab atas semua yang terjadi? Bercerita tentang ego dan penyesalan. CHANBAEK!