"Arrghhhhhh! Di mana kamu, gadis kecil? Cepat ke sini... Aku lapar... Argh!"
Jisoo merangkak mundur hingga menghimpit dinding. Gelap. Hanya ada cahaya lampu yang menyala di ruang tamu, berkat pintu kamar yang dibiarkan terbuka. Melihat sepasang kaki besar melangkah masuk, Jisoo menutup mulut rapat dengan kedua tangan. Menahan napas. Seakan napasnya pun dapat terdengar. Semakin dekat, Jisoo menutup rapat kedua mata.
"Dapat! Ke sini, Hong Jisoo!"
Sepasang tangan berhasil menggapai Jisoo yang tengah bersembunyi di bawah ranjang. Membuat anak perempuan berumur tujuh tahun itu memekik. Berteriak. Berontak. Berusaha melepaskan sergapan. "Aaa! Lepaskan aku, Raksasa! Tubuhku tidak enak. Tidak punya banyak daging untuk perut buncitmu!"
Berontak yang Jisoo lakukan berakhir percuma. Seseorang yang dipanggilnya dengan sebutan Raksasa itu tetap berhasil menarik Jisoo keluar dari persembunyian. Marah besar karena dikatai perut buncit. "Kamu bilang apa, hng? Katakan sekali lagi," bentaknya. Mengangkat tubuh kecil Jisoo tinggi-tinggi.
Bukannya merasa takut, Jisoo malah tertawa. Tubuhnya terguncang hingga terasa geli. "Ayah buncit! Perut ayah buncit!"
Hong Myunsoo, seorang duda beranak satu, pemilik putri cantik bernama Hong Jisoo itu, menghempaskan tubuh anaknya ke atas ranjang. Membuat suara tawa Jisoo terdengar jauh lebih nyaring dari yang sebelumnya. Berguling hendak turun dari ranjang. Masih berusaha kabur. Akan tetapi, belum sempat kakinya menyentuh lantai, suara nyaring petir menyambar. Jisoo berteriak lantang. Ketakutan. Menutup kedua telinga dengan tangan. Menubruk tubuh ayahnya.
"Turun hujan," kata Myunsoo, memeluk anaknya. Membawa Jisoo berbaring di atas ranjang. Ikut berbaring di sampingnya. Menarik selimut. "Bermainnya kita hentikan saja, ya? Mau dengar dongeng sebelum tidur?"
Jisoo menggeleng. "Ayah pasti mau cerita tentang putri cantik yang baik hati, lalu bertemu dengan pangeran tampan. Aku bosan mendengarnya."
Myunsoo tidak tahan untuk tidak tertawa. Menyentil hidung putrinya main-main. Merasa kurang puas, satu kecupan di kening ia berikan. "Itu kulakukan supaya kamu terus bersikap baik, agar saat dewasa nanti kamu bertemu dengan pangeran tampan."
"Apakah benar begitu?"
"Ya... Tentu saja," Myunsoo berusaha meyakinkan. "Ayah berani menjamin. Kalau kamu bisa tumbuh menjadi anak yang baik, saat dewasa nanti kamu akan menikah dengan pemuda tampan yang tidak kalah baiknya. Dia akan memperlakukanmu seperti seorang putri kerajaan."
"Kalau begitu aku mau!" Jisoo berteriak nyaring. Mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Antusias. Bangkit. Duduk bersila di hadapan ayahnya. "Aku berjanji akan menjadi anak yang baik. Aku ingin menikah dengan pangeran tampan dan baik hati!"
Myunsoo tersenyum puas. Ikut bangkit. Kini pasangan ayah dan anak itu duduk berhadapan. Mengulurkan jari kelingking. Mengikat perjanjian. "Janji?"
Tanpa ragu, tanpa berpikir panjang, Jisoo menyambut uluran jari kelingking ayahnya. Perjanjian telah disepakati. Tertawa tulus. Bukan tawa yang dibuat-buat. Myunsoo tahu itu. Akhirnya. Semenjak istrinya meninggal akibat kecelakaan dua bulan lalu, Jisoo sungguh jarang memancarkan tawa tulus seperti sekarang ini. Myunsoo pikir, ia akan kehilangan tawa Jisoo untuk selamanya. Hanya membayangkannya saja, Myunsoo sudah tidak sanggup. Karena tawa Jisoo begitu mirip dengan tawa mendiang istrinya. Jisoo adalah satu-satunya kenangan terindah yang diwariskan.
Hujan semakin deras, meski petir tidak pernah lagi terdengar.
Myunsoo menarik selimutnya lagi. "Cha! Ayo kita berbaring. Udaranya sangat dingin."
"Ayah kedinginan?" tanya Jisoo dengan polosnya. Membantu sang ayah membalut selimut di bagian kaki. "Apa Ayah mau teh hangat? Mau aku buatkan? Ayah harus tahu, aku sudah sangat pandai menggunakan peralatan dapur. Aku sudah mandiri. Ayah ingin mencoba teh buatanku?"
"Ah, benarkah? Baiklah... Tolong buatkan Ayah teh hangat, oke? Tapi berhati-hatilah saat berada di dapur."
Tanpa menunggu perintah berikutnya, Jisoo merangkak turun dari ranjang. Bergegas mendatangi dapur. Berlari cepat, hingga Myunsoo berteriak untuk menegurnya.
Di dapur, dengan cekatan Jisoo menyalakan kompor. Meletakkan teko aluminium berisi air. Mengambil salah satu kursi meja makan, lalu berdiri di atasnya. Mengambil gula dan teh celup. Memasukkan kedua bahan tersebut ke dalam gelas. Selagi menunggu air mendidih, Jisoo membuka kulkas. Melahap roti yang kemasannya telah dibuka tadi sore. Tersisa setengahnya.
Bertepatan dengan habisnya roti masuk ke dalam mulut kecil Jisoo, air yang ditunggunya telah mendidih. Dengan penuh kehati-hatian Jisoo mengangkatnya. Memindahkan sedikit airnya ke dalam gelas. Jisoo bertepuk tangan bahagia. Secangkir teh hangat telah berhasil ia siapkan.
Suara tembakan terdengar.
Mata Jisoo membulat sempurna. Panik mengitari sekelilingnya. Memiliki firasat buruk. Bergegas mendatangi sumber suara. Membiarkan teh buatannya tergeletak begitu saja di atas meja dapur. Semakin panik saat mendapati ayahnya telah jatuh ke lantai sambil memegangi dada yang telah penuh dengan darah.
"Ayah? Apa yang terjadi, Ayah?" Jisoo panik luar biasa. Tidak tahu harus berbuat apa. Menangis. Ayahnya nampak tidak sanggup berbuat apa-apa lagi. "Ayah, jangan seperti ini. Ayah! Apa yang yang terjadi? Jangan tinggalkan Jisoo... Jisoo tidak mau sendirian..."
Menangis adalah satu-satunya hal yang dapat Jisoo lakukan untuk sekarang ini. Menyambut uluran tangan ayahnya. Diletakkan di pipi kirinya. Menangis semakin kencang.
"Jisoo... Jadilah anak yang baik. Ya?"
Setelah kalimat itu tersampaikan, Myunsoo tidak sadarkan diri. Membuat Jisoo semakin panik. Tangisannya jadi semakin nyaring. Berlari keluar dari rumah, meski hujan masih sangat deras. Berteriak. Meminta pertolongan. Berhasil menemukan keberadaan orang asing tidak jauh dari rumahnya. Berdiri di tengah guyuran hujan. Tanpa merasa takut Jisoo menghampiri sosok itu. "Paman, tolong Ayah Jisoo! Tolong, Paman! Tolong... Cepat..."
Seperti seorang anak kecil pada umumnya, satu-satunya kegiatan yang bisa Jisoo lakukan selama menunggu ayahnya di rumah sakit adalah menangis. Bukan berarti tidak ada yang peduli. Seseorang yang dimintainya tolong pun sebenarnya sudah berusaha keras menenangkan. Namun berakhir gagal. Hingga beberapa puluh menit berlalu, akhirnya dokter yang menangani Myunsoo keluar dari ruang operasi dengan raut wajah penuh penyesalan.
Jisoo berlari menghampiri sang dokter. "Ayah Jisoo baik-baik saja kan, Dok? Jisoo ingin masuk. Jisoo ingin bertemu dengan Ayah!"
Akan tetapi, dokter itu malah mencegat tubuh kecil Jisoo. Melarang anak itu masuk dan bertemu dengan ayahnya. Dari kejauhan, orang yang telah membantu Jisoo mengantar Myunsoo ke rumah sakit hanya bisa memperhatikan. Tahu persis dengan apa yang terjadi, meski hanya dengan mengamati raut wajah si dokter. Ikut meneteskan air mata. Meski tidak kenal dengan keluarga kecil ini, ia tahu persis bagaimana rasanya ditinggalkan.
Dokter itu menjongkokkan badan di hadapan Jisoo. Menyeimbangkan tinggi badan mereka. "Maaf, sayang... Ayah sudah pergi. Jisoo anak yang baik. Doakan Ayah Jisoo supaya bahagia di Surga. Ya?"
Pertahanan anak itu runtuh. Dunianya gelap, tanpa ada satu pun cahaya untuk menuntunnya keluar.
BLACK ROMANCE
2 Juni 2020
© tirameashu
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Romance (✓)
Fanfiction[SEOKSOO GS Fanfiction] Seokmin adalah penyelamat hidupnya, hanya itu yang Jisoo tahu. Seokmin adalah rumah baginya, hanya itu yang membuat Jisoo bertahan. Seokmin adalah buku diary-nya, hanya itu yang Jisoo rasakan. Akan tetapi, tanpa Jisoo tahu, S...