2. Timer

1.1K 128 68
                                    

Tidak terhitung sudah berapa kali kejadian seperti ini terjadi. Seokmin selalu menjadi pilihan terakhir Jisoo setiap kali merasa ada yang mengganggu. Baik itu secara fisik mau pun mental. Jika kalian berpikir bahwa ketidakbisatiduran Jisoo tadi malam adalah hal yang biasa sebagai anak muda, jawabannya adalah salah. Jisoo sangat sering mengalaminya. Terutama semenjak penembakan sang ayah 11 tahun yang lalu. Suara tembakan yang sangat mengerikan itu seolah terus berdengung di telinga Jisoo. Memutar ulang memori. Mengulang kejadian lama. Menggambarkan kembali bagaimana mengenaskannya kondisi Hong Myunsoo begitu Jisoo menemuinya di ruang tamu. Bersimbah darah. Memegangi dada. Titik tertembak.

Perlahan namun pasti Jisoo berhasil menyingkirkan tangan Seokmin dari pinggangnya. Berusaha beranjak dari ranjang dengan tidak kalah pelannya. Jisoo menebak sebelum korden terbuka. Menurut cahaya samar yang berhasil tembus, sekarang sudah pukul 7. Jam standar bangun orang-orang kebanyakan. Meski sudah lulus sekolah, sebagai satu-satunya wanita di rumah ini, karena memang mereka hanya tinggal berdua, Jisoo diwajibkan bangun pagi untuk menyiapkan sarapan. Sebelum Seokmin berangkat bekerja.

Jisoo diam sejenak di depan jendela. Pemandangan halaman samping rumah menyambutnya. Beberapa tanaman mulai layu akibat tidak terurus. Dalam hati Jisoo berjanji akan memberinya banyak air usai menyiapkan sarapan nanti.

"Paman... Ayo bangun," Jisoo memanggil pelan. Menyingkirkan selimut yang terpasang tidak rapi. Hanya menyelimuti bagian kaki. Pada saat itulah, Jisoo baru menyadari satu hal yang harusnya ia ketahui sejak pertama kali Seokmin menginjakkan kaki di rumah sepulang bekerja. Memar biru tepat di bawah mata Seokmin. Dengan panik Jisoo berlari keluar. Tanpa kesulitan menemukan kotak obat dan mengambil peralatan untuk mengompres memar.

Seokmin memekik terkejut hingga terbangun. Jisoo sudah berdiri dengan lututnya di samping ranjang tempat Seokmin menghadap. Terus mengompres memarnya. "Soo-ya..." Mengerang. Berontak. "Tidak usah. Ini sudah tidak apa. Paling besok sudah hilang bekasnya."

"Hilang apanya? Paman tidak lihat memar ini jauh lebih parah dari memar dua minggu lalu?" Kini suara Jisoo jauh lebih lantang. Memberikan satu tablet obat. "Sebaiknya paman minum obat ini. Ini akan mengurangi nyerinya."

Tidak ada pilihan lain, selain menurut. Seokmin tahu persis. Jisoo akan marah besar kalau ia menolak perobatan dadakan yang dilakukan. Seperti sekarang ini.

"Aku tahu pertanyaan ini tidak akan pernah paman jawab, tapi tidak ada salahnya juga jika aku tanyakan lagi. Jadi, sebenarnya paman bekerja sebagai apa? Kenapa paman sering kali luka-luka seperti ini begitu pulang bekerja? Apa paman seorang petarung? Paman petinju?"

Sesuai pula dengan tebakan Jisoo. Dari raut wajahnya, begitu jelas Seokmin enggan menjawab pertanyaan ini. Membuat Jisoo mendesah nyaring. Tugasnya untuk mengobati Seokmin sudah selesai. Beranjak dari sana.

Seokmin mencegat. Ditahannya tangan Jisoo meski kepala menunduk. "Jangan pergi."

Tertawa. Melepaskan genggaman tangan Seokmin. "Paman bilang apa? Paman tahu kalau aku tidak mungkin pernah bisa pergi. Aku hanya pergi ke dapur. Menyiapkan sarapan. Sebaiknya paman cepat mandi. Jadi begitu selesai, bisa langsung sarapan. Aku tunggu di dapur."

Bayangan Jisoo menghilang seiring lampu setiap ruangan telah dimatikan. Lalu pintu kamarnya tertutup rapat. Jisoo yang telah melakukan semuanya. Membuat Seokmin merasa takut. Untuk di masa depan, mungkin Jisoo tidak lagi sekadar mematikan lampu rumah Seokmin dan mengurung Seokmin sendirian di dalam kamar. Namun mematikan cahaya hidup Seokmin, lalu meninggalkan Seokmin sendirian tanpa ada satu orang pun berminat untuk menemani.

Bukan mungkin lagi. Seokmin sadar diri. Cepat atau lambat, Jisoo pasti akan melakukannya. Semua ini hanya tentang waktu. Dan selagi waktunya belum tiba, Seokmin hanya bisa melewatinya sebaik mungkin. Mengukir kenangan sebanyak-banyaknya. Seokmin usahakan, semuanya adalah kenangan baik. Meski semua kenangan baik itu tidak akan pernah bisa mengubur kenangan buruk. Itu jauh lebih baik daripada tidak ada kenangan baik sama sekali. Benar, kan?

Black Romance (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang