10. Killers

687 93 34
                                    

Mustahil kalau Minghao tidak tahu. Tidak mungkin Minghao tidak mengenali. Sebuah kebohongan besar kalau Minghao tidak mendengar, sedangkan beritanya telah bergema di mana-mana. Minghao menelan ludah. Mematikan televisi. Menutup mata rapat-rapat. Tarik napas, hembuskan.

"Hei."

Suara teguran itu terdengar begitu lembut namun canggung. Minghao membuka mata. Membalas sapaan tanpa menoleh. "Kepalamu sudah baik-baik saja?"

"Kamu sudah tahu siapa aku?"

Akhirnya. Junhui mengeluarkan pertanyaan yang membuat Minghao menolehkan kepala. Meminta maaf di dalam hati. Senyum terpaksa. "Ya. Namamu Jun."

"Ah... Baguslah." Jun, atau yang sebenarnya bernama Wen Junhui, tertawa. Terdengar renyah di telinga Minghao. Dengan tubuh yang terasa remuk ia berusaha duduk di atas sofa. Samping Minghao. "Selain nama, kamu tahu apa lagi? Apakah tahu di mana alamat rumahku? Aku ingin pulang."

"Kamu sungguhan tidak ingat apa pun?" Mata Minghao mengintimidasi. Tentu ia harus memastikan semuanya, meski sebelum ini, telah ia lakukan. Setidaknya untuk menenangkan diri sendiri. Melihat Junhui menggeleng, Minghao menyusun skenario baru di dalam otaknya. Entah kenapa ia tidak rela kalau Junhui pergi. Bukan perasaan egois sebagai penggemar. Tapi ia takut. Nyawa Junhui tengah menjadi incaran. Benar, kan? Memangnya apa lagi? Kalau penjahat yang telah menyakiti Junhui tahu bahwa targetnya masih hidup, pasti penyiksaan yang jauh lebih parah akan menyusul. Setidak demi menghilangkan jejak kejahatan mereka. "Aku tidak tahu. Yang aku tahu kamu itu orang Tiongkok. Aku juga."

"Wow." Junhui terlihat antusias. Mendekat. "Bagus sekali. Tapi... Bagaimana caranya kamu tahu nama dan asalku?"

Alis Minghao terangkat naik. Berusaha mencari alasan. "Itu .... Ah, saat pertama kali bertemu, kamu sempat mengatakannya. Namamu Jun, berasal dari Tiongkok. Tapi setelah itu kamu pingsan. Begitu sadar lagi, malah tidak ingat apa-apa."

Junhui menarik napas dalam-dalam. Mengembuskannya dengan pelan. Kepalanya kembali terasa sakit. Kenapa hidupnya bisa semengenaskan ini? Mengerang. Ia sudah tidak tahan lagi. "Bagaimana ini... Aku harus bagaimana?"

"Hei, tenanglah... Aku akan membantumu. Jangan seperti itu..." Minghao menahan tangan Jun. Berusaha menarik paksa perban di kepalanya. Mulai menetaskan air mata. Jelas sedang frustrasi. "Tinggallah di sini. Tidak apa. Kamu boleh pergi kapan saja kalau sudah ingat semuanya. Untuk sementara ini kamu boleh tinggal bersamaku selama yang kamu perlukan."

Jas hitam yang Mingyu kenakan hari ini sedikit lebih kecil dari ukuran biasanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jas hitam yang Mingyu kenakan hari ini sedikit lebih kecil dari ukuran biasanya. Membuat lengan besar berototnya semakin jelas terlihat. Tercetak nyata. Tapi itu sama sekali bukan masalah. Malah menambah tingkat kepercayaan diri seorang Kim Mingyu. Ia terlihat begitu gagah bersama otot-otot besar itu. Dengan bangga berjalan melewati banyak bawahan Seungcheol yang berjaga di lantai utama. Mereka semua membungkuk. Mingyu menyeringai bangga.

"Bayaran untuk yang kemarin akan kita terima hari ini." Seokmin menepuk bahu Mingyu. Kehadirannya begitu mengejutkan. Mingyu menyikut. Seokmin tertawa. "Sejak tadi aku mengikuti mobilmu. Aku tepat di belakangmu. Tidak sadar? Wah... Hati-hati. Musuh kita nanti bisa dengan mudah mengincarmu karena kurangnya kewaspadaan."

Black Romance (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang