Seokmin pernah bermimpi. Hidupnya begitu damai, bersama keluarga kecil yang dibina hampir belasan tahun lamanya. Dua orang anak. Laki-laki dan perempuan dengan jarak umur yang tidak terlalu jauh. Kala si perempuan menangis, seorang wanita yang dipanggilnya dengan sebutan Sayang begitu cekatan mendatangi. Menanyakan alasan menangis putri mereka. Kakak nakal, jawabnya. Kini giliran Seokmin-lah yang mengambil peran sebagai ketua dalam keluarga kecil itu. Coba menarik perhatian si putra. Menggendongnya hingga didudukan di halaman belakang rumah yang ada kolam renang kecil.
Seokmin bercerita, "dulu, Ayah tidak punya siapa-siapa. Hidup sendiri, ditemani anak perempuan yang ayah besarkan. Anak itu semakin lama semakin besar dan menyebalkan."
"Siapa itu?" anak laki-laki Seokmin bertanya.
Tatapan penuh pengharapan berhasil Seokmin layangkan. Jelas berhasil pula menyentuh hati anaknya. "Ibumu."
Anak itu menatap sang ayah penasaran. "Ayah yang membesarkan ibu?"
"Ayah sudah bilang. Ayah tidak memiliki siapa pun. Itu berlaku sejak ayah berumur tujuh belas tahun. Ibumu bernasib sama di umur tujuh tahun. Kami saling tergantung satu sama lain."
"Lalu?" Kepala anak laki-laki itu meneleng. Tidak mengerti. Ia baru berumur delapan tahun. Sedangkan adiknya berumur lima tahun. Tidak mengerti dengan masalah rumit orang dewasa. "Apa hubungannya denganku?"
"Ayah bersyukur memiliki putra-putri. Dua orang anak yang sehat dan pintar seperti kalian. Berbeda dengan kehidupan ayah dan ibu dulu yang hanya hidup sebagai anak tunggal. Kita tidak tahu akan sampai kapan memiliki keluarga yang lengkap. Dan jika sudah waktunya tiba, kalian hanya memiliki satu sama lain. Kamu harapan ayah satu-satunya. Ayah tidak mau kamu dan adikmu bernasib sama seperti ayah dan ibu dulu."
Seokmin mengusak rambut anaknya dengan bangga. Putra kecil itu mengangguk, memeluk, mengatakan bahwa ia siap berubah menjadi putra kebanggaan Seokmin.
Tanpa sadar Seokmin meneteskan air mata. Menutup mata, air mata itu malah semakin deras keluarnya. Susah payah menarik napas. Hembuskan perlahan, hingga tanpa sengaja malah terlihat seperti tengah meniup puncak kepala Jisoo. Gadis itu masih tidur. Seokmin mengeratkan pelukan.
Mimpi itu tidak bisa dikatakan indah. Tapi juga tidak bisa dikatakan buruk. Entahlah. Hingga detik ini Seokmin masih sangat kesulitan untuk memberikannya kategori. Sudah sangat lama, bahkan hampir terlupakan kalau saja malam panas mereka tidak pernah terjadi.
Jisoo mengerang. Melepas pelukan. Wajah Seokmin adalah yang pertama kali dilihatnya pagi ini. "Jam berapa?"
"Entah," Seokmin menjawab sekenanya. Berusaha menjangkau ponsel genggam di atas nakas. Tanpa sengaja membuat selimut mereka tertarik. Secepat kilat Jisoo menahan sebagian untuk menutupi tubuhnya yang masih telanjang. "Baru jam tujuh. Tidurlah lagi. Tidak usah bekerja hari ini."
"Jangan bercanda. Aku masih karyawan baru di sana. Apa kata atasanku nanti kalau malah ambil cuti?"
"Yakin mau bekerja? Tubuhmu tidak sakit?"
"Ti..." Jisoo diam. Ucapan Seokmin benar. Kenapa tubuhnya terasa remuk? "Ini akan pulih sebentar lagi. Aku libur masak, ya? Setengah delapan baru mandi. Berangkat jam delapan kurang sepuluh menit. Tolong antar aku ke mini market. Please..."
Seokmin tertawa gemas. Memberi ciuman selamat pagi di pipi kanan Jisoo. Bangun. Cuek saja keluar dari selimut dalam keadaan telanjang. Memunguti satu per satu pakaiannya yang berserakan di lantai. "Silakan beristirahat, Tuan Putri. Dua puluh menit lagi akan kubawakan makanan," katanya. Baru sadar kalau Jisoo tengah menutup wajah dengan selimut. "Soo? Kamu sakit? Kalau begitu libur saja, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Romance (✓)
Fanfiction[SEOKSOO GS Fanfiction] Seokmin adalah penyelamat hidupnya, hanya itu yang Jisoo tahu. Seokmin adalah rumah baginya, hanya itu yang membuat Jisoo bertahan. Seokmin adalah buku diary-nya, hanya itu yang Jisoo rasakan. Akan tetapi, tanpa Jisoo tahu, S...