"Perkembangannya sangat bagus. Sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa kesadarannya akan segera pulih. Kita hanya tinggal menunggu. Kami yakin tidak akan lama lagi."
"Ya... Kami harap begitu. Ada banyak hal yang harus kami tanyakan. Untuk memastikan kejujuran dari pernyataan Seokmin."
"Kapan sidang pertama dilaksanakan?"
"Kami belum tahu. Kami membutuhkan Jisoo untuk menelusuri kasus ini lebih lanjut sebelum mengajukan semuanya ke persidangan. Itu sebabnya kami mengharapkan kesembuhan Jisoo secepatnya. Oh, bagaimana dengan Junhui?"
"Junhui sehat. Sangat sehat, malah. Tapi ingatannya tidak bisa dikembalikan kecuali memang ada keajaiban. Dia benar-benar tidak ingat apa-apa. Benturan di kepalanya terlalu keras."
"Wajar... Seokmin dan Mingyu mengaku. Mereka memukul kepala Junhui dengan tongkat baseball. Belum lagi kepalanya terbentur meja saat terjatuh. Untuk sementara ini kami hanya berhasil mencari informasi melalui Minghao."
"Minghao?"
"Hng. Orang yang sudah menyelamatkan Junhui. Gadis itu menemukan Junhui di pinggir jalan, di dalam karung. Diletakkan tepat di samping bak sampah."
"Junhui berumur panjang."
"Ya, tapi..."
Cahaya putih tertangkap. Samar. Namun secara perlahan semakin terang cahayanya. Masuk menelusup mata. Cahaya itu sekarang terlalu terang hingga rasanya membakar. Panas lebih dari api. Perih tak tertahan. Ditambah obrolan panjang terus masuk tanpa henti. Tanpa bisa dicegat. Tanpa bisa diketahui siapa saja yang terlibat di dalamnya. Memperburuk keadaan. Suara dan cahaya itu hampir merobek permukaan kulit tipis bak helaian kapas.
Kaca pembatas kehidupan sedikit retak. Semakin lama retaknya semakin menjalar ke mana-mana. Seiring semakin banyaknya cahaya dan nyaringnya suara bergema. Tidak cukup menyiksa mata dan telinga. Seluruh tubuh rasanya terkoyak. Mengikis kulit.
Cahaya terang itu terus menelusup di celah retak kaca. Memperparah kondisi. Rasanya sakit. Terlampau sakit. Tanpa sadar Jisoo berhasil mengangkat tangan. Memukul dada. Tidak menyangka bahwa tindakan itu malah menyaringkan volume suara yang tidak jelas bersumber dari mana.
Retak. Tidak. Kini tidak lagi. Retak itu sudah berubah menjadi lubang besar. Terus mengeropos. Serpihannya jatuh. Menghujam. Bermula serpihan kecil, kini serpihan besar pun ikut menimpa. Sakit. Jisoo menjerit. Dunia ini terlalu menyiksanya.
"Hong Jisoo, 18 tahun. Tidak secara langsung melihat aksi pembunuhan yang menimpa ayahnya sebelas tahun lalu. Namun dia adalah orang yang pertama kali mendapati ayahnya telah tertembak di dada. Tepat mengenai jantung."
Seluruh mata orang yang hadir dalam sidang pertama hari ini mengarah ke Jisoo. Mempertanyakan kebenaran keterangan pengacara yang mendampingi. Sebagai saksi, Jisoo sempat disumpah agar memberi keterangan apa pun yang ia tahu dengan tingkat kejujuran seratus persen. Tentu Jisoo menyetujui. Bukan karena sumpah yang sudah terlanjur terucap. Namun karena korban yang menjadi titik pembongkaran kasus kejahatan ini adalah ayah kandungnya sendiri.
Meskipun itu, Jisoo menoleh ke sebelah kanan, ada Seokmin yang menjadi salah satu pelaku. Duduk berjejer dengan para pelaku lainnya. Kepala menunduk. Tidak berani menatap Jisoo.
Jisoo ikut menundukkan kepala. Setetes air mata jatuh. Ingat kematian sang ayah yang tidak bisa dikatakan wajar. Kenangan buruk. Hingga mati pun Jisoo tidak mungkin pernah bisa melupakannya. Tarik napas panjang, Jisoo kembali menegakkan kepala. Mata lurus ke depan. Menatap hakim tanpa takut, meski yang mengajukan pertanyaan adalah pengacaranya. Coba tegas dalam berucap. "Benar."
Bukan hanya tentang kematian ayah dari Hong Jisoo yang menjadi titik pembahasan sidang pada hari ini. Minghao pun sempat berada di posisi yang sama, yaitu duduk di depan sebagai saksi. Menceritakan kasus aktor Junhui. Dan, Junhui pun sempat disumpah, saat memberi keterangannya sebagai salah satu korban. Sidang yang panjang. Jisoo sempat berdoa di dalam hati agar sidang seperti ini hanya dilakukan satu kali dalam hidupnya. Meskipun Jisoo tahu sendiri bahwa doa itu terlalu mustahil untuk terwujud.
Hari berganti, menyentuh minggu. Sidang belum juga selesai karena terlalu banyak korban yang telah mereka lenyapkan nyawanya. Beberapan bulan berlalu, memasuki sidang akhir. Tapi anehnya perasaan ini semakin menyiksa. Bukankah Jisoo seharusnya bersyukur? Kewajibannya untuk menghadiri sidang akan berakhir di sidang keempat. Setelah sidang hari ini, ia bersumpah tidak akan pernah lagi masuk ke dalam ruangan yang mengerikan ini. Sampai kapan pun.
"Kamu baik-baik saja? Sungguh? Mau aku antar ke rumah sakit?"
Jisoo melebarkan senyum secara terpaksa. Berusaha meyakinkan Wonwoo. "Aku baik-baik saja... Lebih baik kita segera pulang. Aku ingin beristirahat."
"Jisoo," pengacara yang selama ini mendampingi Jisoo mencegat. Tidak hanya sendiri. Ada pengacara lainnya di samping beliau. Jisoo dapat mengenali. Pengacara para terdakwa. Kehadirannya membuat Jisoo mengerutkan kening. "Tunggu dulu sebentar. Ada yang ingin Pak Shin katakan."
Jujur, Jisoo ingin kabur. Tidak mau terlibat dalam kasus ini lagi. Sidang sebanyak empat kali sudah cukup memuakkan. Dan bagusnya, Wonwoo pun menyadari keinginan Jisoo ini. Gadis Jeon itu sempat mencegat. Ingin membawa Jisoo pulang. Sayangnya keinginan dan ego tidak bisa diajak bekerja sama. Jisoo menggenggam tangan Wonwoo. Butuh pegangan. Bersiap mendengarkan.
"Saya hanya akan meminta tolong satu kali. Ini kesempatan terakhir untuk salah satu klien saya. lee Seokmin. Dia sudah menolongmu. Dia sudah menyelamatkan nyawamu sebanyak dua kali. Tolong setidaknya bantu dia memperoleh keringanan hukuman."
Wonwoo mengerutkan kening. "Anda bisa melakukannya sendiri. Jisoo tidak perlu terlibat."
"Ya, tapi kami membutuhkan Jisoo untuk mengajukan banding. Karena Jisoo yang menjadi saksi kunci atas kebaikan Seokmin."
Terdengar kekehan kecil setelahnya. "Kebaikan Seokmin..." ringis Jisoo. "Dia memang menyelamatkanku, tapi dia membohongiku selama bertahun-tahun. Kalau aku tahu, lebih aku mati daripada tinggal bersama orang yang telah membunuh ayahku."
"Jisoo..." Wonwoo memeluk Jisoo dari belakang. Berusaha memberi kekuatan. Tahu persis bagaimana besarnya rasa kecewa Jisoo. Karena hal yang sama pun ia rasakan terhadap Mingyu. Meski kasus mereka berdua jauh berbeda.
Tepat di saat yang bersamaan, pintu ruang sidang terbuka. Seluruh keluarga korban menyerbu. Coba menghakimi. Kepolisian secara ketat berjaga. Menggiring seluruh terdakwa masuk ke dalam mobil posisi. Membuat Wonwoo dan Jisoo dengan segera menyingkir. Mencari posisi teraman. Jauh dari jangkauan mata Mingyu dan Seokmin. Meskipun begitu, keberadaan mereka tetap saja berhasil di tangkap. Seokmin mengirim sinyal penuh penyesalan melalui isyarat mata.
"Tidak bisakah Seokmin mendapat kesempatan kedua?" Pengacara itu terus berusaha membujuk. "Seluruh klienku secara resmi mendapat hukuman sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Setidaknya aku harus melakukan sesuatu untuk meringankan hukuman Seokmin. Dia yang paling berpotensi diselamatkan."
"Kalaupun Anda ingin melakukannya, terserah. Tapi saya tidak mau ikut campur." Keputusan Jisoo sudah bulat. Rasa cinta sudah ia kubur dalam-dalam. Meski masih ada serpihan yang tertinggal di tempat, rasa bencinya jauh lebih mendominasi. Tarik napas panjang, Jisoo menutup mata. Yakin. Kembali berucap sebelum menarik Wonwoo pergi. "Beritahu Seokmin. Terima kasih karena sudah mau menampungku selama sebelas tahun. Tapi akan jauh lebih baik jika Seokmin juga membunuhku usai membunuh ayahku."
Black Romance
28.07.2020
© tirameashu
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Romance (✓)
Fanfiction[SEOKSOO GS Fanfiction] Seokmin adalah penyelamat hidupnya, hanya itu yang Jisoo tahu. Seokmin adalah rumah baginya, hanya itu yang membuat Jisoo bertahan. Seokmin adalah buku diary-nya, hanya itu yang Jisoo rasakan. Akan tetapi, tanpa Jisoo tahu, S...