Rein berjalan cepat di koridor rumah sakit sambil membaca setiap kalimat yang tertera pada kertas ditangannya.
"Sial" batinnya dalam hati ketika menyadari bahwa ia terlambat bekerja, jam sudah menunjukkan pukul 10 namun Rein baru saja tiba sedangkan ia memiliki lumayan banyak pasien yang menunggu konseling darinya."Eh goblok" Rein menutup mulutnya saat tak sengaja memaki ketika kertas ditangannya terjatuh ke lantai. Rein menatap ke kanan dan terdiam sejenak melihat dinding transparan yang mengarah ke taman rumah sakit. Rein menghela napas panjang lalu menarik bibirnya dengan kedua tangan agar tampak tersenyum. Rein terlalu sibuk dengan dirinya sendiri sampai tak menyadari seorang gadis berdiri di depannya.
"Akh astaga" Rein menabrak gadis itu dengan keras, lalu sebelum gadis itu terjatuh Rein menangkapnya l, memegang pinggangnya, dan menarik gadis itu ke arahnya. Gadis itu menjatuhkan tongkat di tangannya dan memekik kaget.
"Aduh saya minta maaf, saya gak tau apa yang terjadi pada saya hari ini. Saya benar-benar minta maaf" kata Rein melepaskan pelukan dan mengambil tongkat yang terjatuh di lantai. Rein mengamati tongkat itu dengan seksama lalu segera mengambilnya cepat. Gadis didepannya terlihat ketakutan, benar-benar ketakutan.
"Tak usah khawatir, saya bekerja di rumah sakit ini. Saya gak ada niat apa-apa" kata Rein menyerahkan tongkat di tangannya dan menyadari bahwa gadis di depannya tidak bisa melihat.
"Cabul" mata Rein membelakak seketika ketika mendengar kalimat setengah berbisik yang diucapkan gadis itu. Gadis itu menyentuh kalung di dadanya untuk memastikan kalung itu tetap utuh dan segera mengambil tongkat yang berada di tangan Rein lalu berjalan menjauh.
Rein hampir saja mengejar gadis itu untuk berdebat bahwa Rein baru saja menyelamatkannya, bukan berusaha menyentuh atau merampoknya. Namun Rein mengurungkan niatnya dengan mengingat fakta bahwa ia yang menabrak gadis itu dan usia Rein bukanlah usia untuk berdebat dengan seorang gadis yang tidak tau sopan santun.
Gadis itu cukup cantik dengan rambut hitam sepinggang miliknya dan mata hitam tajam yang seolah olah dapat melihat siapapun yang berada di depannya. Rein menerka-nerka bahwa gadis ini lebih kecil dua atau tiga tahun darinya. Gadis itu menggunakan terusan berwarna putih bermotif bunga-bunga. Untuk orang yang tidak bisa melihat, gadis itu cukup berani karena memakai high heels putih dan juga memakai kalung dengan liontin berlian berbentuk tetesan air.
Bukannya bagaimana, tapi dengan high heels setinggi itu ia bisa terjatuh, dan berlian semahal itu yang dipamerkan begitu saja, itu bisa dirampas orang kapan saja.
"Saura" seorang pria paruh baya dengan setelan jas rapi mengejar gadis itu dan sempat bertatapan dengan Rein. Dengan sekali tatap Rein langsung tau bahwa pria paruh baya ini adalah ayah dari gadis berlian itu.
...
Rein menyuruput kopi di tangannya lalu menatap hujan yang turun cukup deras dari kaca di kantornya. Rein baru saja menyelesaikan konseling terakhirnya ketika tiba-tiba seorang perawat mengetuk pintu ruangannya.
"Ya masuk" kata Rein kembali duduk dan meletakkan kopi ke atas mejanya. Perawat itu memberikan beberapa lembar kertas berisi biodata seseorang. Rein mengernyit melihat nama di kertas itu 'Saura Shakira', merasa pernah mendengarnya namun entah dimana.
"menurut saya ini kasus penting" kata perawat itu menatap mata Rein dalam.
"Hmm?" tanya Rein dengan gumaman sambil mengambil kertas di atas meja untuk membaca dengan seksama.
"Gadis ini seorang pianis profesional di Amerika, setahun lalu ia mengalami kecelakaan mobil dan kehilangan penglihatannya. Ia meminta keluarganya melakukan euthanasia padanya. Jadi ayahnya membawanya kembali ke Indonesia untuk melakukan banyak pengobatan mental"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan & Matahari
Teen FictionHujan turun semakin deras, Rein mengernyit dan menghentikan langkah kakinya. "kenapa gak mati sekarang aja? Apa bedanya sama mati besok?" Kata Rein pada dirinya sendiri. Rein menghela nafas panjang lalu berjongkok dirumput, menghela nafas panjang se...