No copy paste! Hargai sesama penulis!
Halo👋....selamat datang di karya terbaru aku......buat kalian yang penasaran ikuti terus cerita ini ya.
Jangan lupa vote dan komennya juga😁Salam sayang😘
Inara POV
Halo nama aku Inara Lathifa, aku anak ke dua dari tiga bersaudara. Kakakku yang pertama bernama Fariz Adi syah, aku memanggil dirinya kak Fariz. Dia orangnya pintar, baik dan kalem orangnya. Sementara adikku bernama Zea Almaira, Zea tipe anak yang usil, bawel dan nyebelin. Menurutku. Selalu saja ada yang di lakukan Zea yang kadang membuatku kesal setengah mati.
"ZEA!!!!" teriakku kencang, kak Fariz, Ibu dan Bapak datang menghampiriku.
"Ada apa sih Nara?" ujar kak Fariz memandangku lekat, matanya menyipit, alisnya terangkat, mungkin bertanya-tanya mengapa aku berteriak memanggil nama Zea. Ibu lantas duduk di kursi memandangiku penuh tanda tanya.
"Mana Zea?" tanyaku agak kesal, netraku mengedar ke segala arah, mencari keberadaan adikku yang menyebalkan itu. Kak Fariz menatapku.
"Ada apa sih?" Zea tiba-tiba muncul di hadapan kami.
"Kemana pulpen gue?" tanyaku to the point, mengintrogasi Zea. Zea hanya menghentak-hentakkan kakinya ke lantai, sorot matanya seakan menantang. Tiada rasa takut, walaupun mataku melotot ke arahnya.
"Udah ku buang," sahutnya enteng.
"Di buang di mana?" tanyaku melirik sebal ke arahnya.
"Ya di buang di tempat sampah lah, lagian pulpen udah tintanya abis gitu, masih di simpan aja," sahutnya. Reflek aku langsung melotot tak percaya.
"Cari! Kakak gak mau tau ya?! Kamu harus bener-bener cari itu pulpen," ujarku. Bapak yang menatapku langsung geleng-geleng kepala. Entah ke berapa kalinya kami ribut, hal kecilpun akan selalu jadi perdebatan panjang. Aku dan Zea bahkan tak pernah akur.
"Idih, pulpen jelek gitu. Ish! Bilang aja kakak gak mampu buat beli yang baru," cibir Zea.
"Itu pulpen dari Arfaaz, tau!" balasku melotot ke arahnya. Zea hanya melirikku sekilas, bahkan terlihat apatis terhadapku. Dengan santainya ia duduk di kursi, meraih remote control dan menghidupkan televisi, seakan aku hanya putaran kaset radio yang sedikitpun tak di dengarkan.
Bapak hanya menatap kami bergantian dan memilih pergi dari hadapan kami. Sementara ibu hanya menghela napas pelan. Mungkin ia lelah melihat kami bertengkar satu sama lain.
"Zea, gak boleh gitu sama kakaknya, kamu harus berani tanggung jawab. Cari pulpennya sampai ketemu, apa yang menurut kamu gak berharga...bukan berarti tidak berharga di mata orang lain," nasehat ibu melemparkan pandangan ke arah Zea.
Zea hanya terdiam, tangannya sibuk mencari saluran televisi yang sesuai seleranya. Kak Fariz langsung beranjak pergi melihat pertengkaran kami, mungkin baginya tidaklah penting.
"Itu pulpen pemberian Arfaaz dek, setidaknya tanya dulu kek, kalau mau buang sesuatu," gerutuku pelan.
"Siapa yang buang, masih ada itu di kamar!" sahut Zea kemudian. Mataku membelalak kaget, benar-benar menyebalkan sekali perilaku Zea ini. Selalu saja mengerjaiku.
"Lagian jadi cewek lebay banget tau, kayak itu pulpen harganya ratusan juta aja," imbuhnya meremehkan.
Aku bergegas menuju kamarnya, mencari-cari keberadaan pulpen kesayangan, pemberian Arfaaz.
Arfaaz, laki-laki tampan berumur 15 tahun. Dia adalah pacarku, hubungan kami berjalan sudah tiga tahun lamanya. Pertemuanku dengannya tanpa di sengaja, waktu itu aku sedang mencari novel yang baru terbit di toko buku dekat kota. Arfaaz juga yang sedang mencari buku fisika, tanpa sengaja bertemu denganku. Awalnya pertemuan pertama kami tak menimbulkan sesuatu yang berkesan. Tetapi semenjak kita sering bertemu di tempat yang sama, kita malah menjadi dekat dan memutuskan untuk berpacaran.
Arfaaz adalah pria pengertian dan penuh perhatian, meski tidak romantis. Aku menyukai sikap dan karakternya yang baik, selama kami berpacaran tak pernah ku lihat dari dirinya sikap arogan dan kasar. Tutur bahasanya lembut dan menyejukkan hati. Itu yang membuatku betah terhadapnya, selain karena sikapnya yang baik, dia juga sangat tampan.
Kemarin adalah anniversarry hubungan kita yang ke tiga, Arfaaz menghadiahi aku sebuah pulpen. Meski terlihat sederhana, namun aku sangat menyukainya. Aku berjanji, meski tinta pulpen pemberian Arfaaz sudah habis. Aku tidak akan membuangnya, hanya untuk kenangan kok. Aku memang terkesan bucin dan serius dalam menjalani hubungan. Harapanku hanya satu, hubungan ini tak berakhir, jujur aku sangat mencintainya.
Setelah mencari-cari ke kamar Zea, akhirnya aku menemukannya. Pulpen berwarna biru dengan tinta gliter ungu itu kulihat di dalam laci meja di kamar Zea. Tanganku bergetar, mataku berkaca-kaca. Lalu ku raih dan ku cium dengan sayang. Seakan benda itu begitu penting untukku. Sebenarnya bukan hanya itu saja benda pemberian Arfaaz, masih ada beberapa barang lagi yang tentunya aku simpan dengan baik. Seperti boneka, jam tangan, tas, buku novel serta pulpen ini. Meski tak mahal dan murah, aku terlihat senang hati menerimanya.
TBC
Gimana menurut kalian? Apakah ini cukup menarik? Jika ya, silahkan beri vote serta komennya ya...
Dipublikasikan tanggal 14 januari 2021
@tansahelingdd
Fb @ nania cembara
KAMU SEDANG MEMBACA
Barisan Para Mantan
RomanceBagi siapapun yang mengcopy paste isi seluruhnya atau sebagian dari cerita ini. Demi Allah aku gak ikhlas dunia akhirat, jadilah penulis yang hebat dengan mengarang sendiri, bukan dari hasil mencuri! Inara, gadis cantik idaman semua pria. Tak pelak...