Part 9

11 3 0
                                        

Mohon untuk tidak copy paste cerita ini dengan alasan apapun! Hargai sesama penulis!!!!!

Hay semuanya👋apa kabar? Kali ini aku akan update cerita baru aku nih!jangan lupa vote dan komennya ya. Terima kasih. Love you all😘

Aku hanya terbengong, tak percaya atas perhatian yang Candra berikan. Bahkan Arfaaz yang sudah mengenalku cukup lama tak peduli akan keadaanku. Bayangan sosok Arfaaz tadi masih berada dalam ingatanku. Sikapnya yang tiba-tiba berubah dingin dan kaku. Seperti bukan Arfaaz yang ku kenal sebelumnya.

Tatapanku tiba-tiba tertuju pada nasi bungkus yang tergeletak di atas meja. Aku meraihnya, dalam hati aku bersyukur dapat teman seperti Candra. Setidaknya dia masih tak berubah, selalu menolongku disaat aku membutuhkan bantuan. Berbeda halnya dengan Arfaaz. Kenapa aku tiba-tiba membandingkannya?

Perlahan dengan pasti aku buka nasi bungkus pemberian Candra, terlihat ada nasi dan lauk pauk bakwan, ikan, dan sayur lodeh. Aku mengambil sendok plastik yang berada diluar plastik. Entah sejak kapan ia berada disana, yang pasti aku tidak menyadarinya. Aku sibuk bergelut dengan pikiranku. Memikirkan hubungan kami yang tiba-tiba kandas.

Aku melahap nasi itu setelah mengucapkan bismillah. Setengah jam lagi akan dimulai pelajaran, jadi ku putuskan memakannya dengan cepat.

Bel berbunyi dengan kerasnya, membuyarkan aktivitas para siswa yang berada di luar kelas, semua siswa dan siswi segera memasuki kelas masing-masing karena pelajaran sekolah akan dimulai.

Aku berdiri dan membuang bungkus nasi ke tempat sampah lalu kembali ke tempat dudukkku.

Seperti biasa, suasana kelas tampak riuh. Bu Ratih selaku guru bahasa indonesia belum juga datang. Aku menyibukkan diri dengan membaca novel kesukaanku.

"Selamat pagi," suara bas perempuan yang ku kenal tengah menyapa kami. Aku mendongak, ya ibu Ratih telah datang.

"Selamat pagi juga bu," balas kami serempak, Ibu Ratih lantas duduk di bangku guru.

Pelajaran dimulai, kami mendengarkan dengan seksama, meskipun sebenarnya tidak semua murid mendengarkan.

Pukul sepuluh pagi, jam ibu Ratih telah usai. Beliau segera keluar kelas setelah jadwal beliau telah selesai.

Kringgggg......

Riuh, semua siswa berhamburan keluar kelas. Aku berjalan menuju kantin sendiri, karena Kania tidak masuk hari ini.

Entah, apa penyebabnya. Kania bahkan tak mengabari aku seperti biasanya. Ada apa dengannya? Jika dia sakit kenapa tidak menulis surat izin kepada guru? Aku jadi penasaran kenapa Kania tidak masuk hari ini? Apa ia sedang sakit? Aku pun berniat ke rumahnya setelah pulang sekolah nanti.

Aku termenung, duduk dikursi taman. Menatap bunga-bunga bermekaran, lantas memetik dan menciumnya.

"Sendiri?" sebuah suara mengagetkanku, suara bariton yang sangat ku kenal.

Aku menoleh lantas tersenyum, laki-laki tampan itu duduk didekatku. Ya, dia membalas senyuman yang ku berikan dengan senyuman manisnya.

"Makasih ya, Candra," ucapku akhirnya, bagaimanapun aku harus berterima kasih atas kebaikannya bukan? Aku menoleh dan menatap manik matanya, Candra menunduk lantas tersenyum tipis.

"Iya sama-sama, kamu sudah baikan?" Candra menatapku.

"Iya, ini berkatmu," ucapku tersenyum ke arahnya.

"Syukurlah," balas Candra mengulas senyum.

"Inara, kamu jangan sedih lagi ya. Jangan banyak pikiran dan jangan sampai sakit lagi," Candra menasehatiku. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku mendengarnya. aku mulai agak terkesan dengan kebaikan Candra.

"Jangan cuma mengangguk doang," ujarnya. Aku lantas tertawa dan melemparkan bunga yang ku pegang tepat dihadapnnya.

"Iya, bawel" Kita lantas tertawa bersama.

"Makan di kantin yuk!" Candra langsung berdiri dari tempatnya ia duduk.

Aku ikut bangun, merapikan tepian rok yang kusut lantas pergi ke kantin mengikuti Candra.

~
~

Kami sampai dikantin, Candra menunjuk tempat kosong di ujung. Aku mengikuti sarannya lantas duduk dikursi kantin.

"Biar aku yang pesan," Candra mencegahku berdiri, aku segera duduk kembali.

"Kamu mau apa? Bakso apa mie ayam?" Candra menatapku.

"Mie ayam saja deh," singkatku. Candra mengangguk lantas berlalu dari hadapanku.

Aku memutar bola mataku ke semua penjuru ruangan. Sambil bersantai menunggu pesanan datang, aku meraih kerupuk diatas meja yang tentunya sudah tersedia di semua meja kantin.

Dengan gerakan cepat, akhirnya aku berhasil membuka bungkusnya. Lalu aku segera memakannya.

Derap langkah beberapa orang memasuki kantin, aku langsung mendongak. Suara laki-laki yang familiar terdengar ditelinga. Aku tatap sosok itu dengan perasaan campur aduk. Masih ada getaran cinta untuknya meski tak ku pungkiri bahwa luka masih tersemat dihati. Entah harus berapa lama akan mereda, melupakannya memang tak semudah membalikkan tangan. Mengingat hubungan kami yang berjalan beberapa tahun.

Perasaanku dilimuti kesedihan mendalam, mendadak selera makanku tiba-tiba hilang. Aku menaruh sisa kerupuk tanpa berniat memakannya kembali.

Suara tawa Arfaaz menggema ditelingaku. Seakan menusuk-nusuk hatiku, melihatnya bahagia seperti itu membuat dadaku terasa sesak, seakan ada beban berat yang mengganjal. Perkataannya tadi masih terngiang di ingatan, begitu mengoyak hati dan aku sadari bahwa lukaku kian dalam.

Arfaaz melirikku sekilas, selanjutnya ia pura-pura tidak peduli. Batinku terasa sakit, dan melihatnya bersikap apatis padaku membuat aku lebih terluka. Tidakkah Arfaaz keterlaluan? Bagaimana bisa ia masih tertawa setelah menyakiti perasaanku. Jujur, aku masih tidak terima ketika ia mulai mengakhiri hubungan kami. Setidaknya beri aku alasan yang kuat untuk memahami keputusannya. Apakah sikap Arfaaz mendadak berubah hanya karena tidak mendapat restu? Lalu mengapa ia semudah itu menyerah? Bukankah Arfaaz pernah berkata bahwa ia mencintaiku dan tak bisa hidup tanpaku? Ke manakah janji yang terucap, mengapa tidak ada bukti nyata bahwa itu memang benar. Jika memang Arfaaz sangat mencintaiku ia akan selalu mempertahankanku apapun yang terjadi bukan? Tapi mengingat dia dengan mudahnya melepaskanku, aku jadi tersadar bahwa cinta yang sering diucapkannya dulu hanyalah bualan dan kamuflase belaka.

"Inara," suara Candra memanggilku.

"Inara, hei," aku tersentak, ketika Candra menepuk bahuku. Selanjutnya aku melihat di atas meja sudah terdapat dua mangkok mie ayam dan dua gelas es teh.

"Kamu melamun?" Candra melirikku, tatapannya begitu lekat menatapku. Membuatku jadi salah tingkah dibuatnya.

"Candra, nanti pulang sekolah bareng aku ya," ujarku kemudian sembari mengaduk saos agar tercampur dengan mie ayamnya.

Candra mengangguk lantas tersenyum ke arahku.

"Buat kamu apapun itu, aku it's okey aja," ucapnya terkekeh.

"Hmm," balasku mengulum senyum ketika mendengar ucapannya.

"Beneran, Inara. Emang kamu mau kemana?" tanyanya.

"Ke toko buku," jawabku.

"Tumben,"

"Iya nih, aku lagi pengen beli novel yang baru terbit," jawabku lalu memasukkan mie ayam ke dalam mulut setelah mengucapkan bismillah.

"O," sahut Candra hanya ber oh ria.

TBC
Dipublikasikan pada tanggal 9 agustus 2021
Oleh : TansahElingdd
Ig : tansah.elingdd97

Barisan Para MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang