part 6

17 7 3
                                    

Mohon untuk tidak mengcopy paste tulisan ini! Hargai sesama penulis!

Halo👋apa masih ada yang tetep stay sampai disini?

Maaf telat upnya ya🤗ku harap kalian mengerti...love you untuk kalian semua😍

Setelah beberapa menit berlalu, bel berbunyi begitu kerasnya, membuat para siswa maupun siswi yang berada di luar kelas mau tak mau memasuki ruangan kelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah beberapa menit berlalu, bel berbunyi begitu kerasnya, membuat para siswa maupun siswi yang berada di luar kelas mau tak mau memasuki ruangan kelas. Seperti biasa, hari ini setiap sabtu pagi adalah jadwal ibu Zalfa selaku guru yang mengajar di bidang matematika. Matematika adalah pelajaran yang amat tidak di sukai hampir seluruh siswa, termasuk aku. Selain bikin kepala pusing, juga membuat mood jadi buruk. Buktinya, selama aku tidak mengerjakan PR yang di berikan ibu Zalfa, aku menjadi badmood dan malas melakukan apapun. Di otakku saat itu, terus memikirkan bagaimana caranya aku menyelesaikan PR yang ibu Zalfa berikan. Sampai-sampai aku begitu takut kena hukuman karena tidak mengerjakannya.

Setelah selesai, aku begitu lega rasanya. Seakan beban yang ku pikul hilang entah kemana.

Ibu Zalfa masuk kelas, ku lihat beliau segera menaruh tas di meja beserta buku pelajaran matematika.

"Kumpulkan PR kalian!" seru ibu Zalfa, suaranya terdengar lantang dan menggema di ruangan kelas. Para siswa dan siswi segera berdiri dan menghampiri meja ibu Zalfa, menaruh buku tulis matematika yang berisi tugas.

Ada beberapa buku di atas meja, ibu Zalfa segera membuka buku catatan tugas muridnya. Dengan seksama ia menatap jawaban yang tertera di buku tulisan itu, lalu menulis nilai sesuai letak kebenaran dan kesalahannya. Setelah mengoreksi semua jawaban muridnya, ibu Zalfa mempersilahkan ketua kelas mengambil buku-buku yang sudah selesai ia koreksi dan menyuruh ketua kelas membagikan buku tersebut kepada pemilik buku.

Buku tulis selesai di bagikan, Ibu Zalfa berdiri. Tangannya meraih spidol yang berada di atas meja. Lalu dengan lantang menerangkan rumus-rumus matematika.

Aku mendengarkan dengan seksama, meskipun sejujurnya kurang paham dengan angka yang di peroleh. Jujur, aku kurang menyukai pelajaran matematika. Selain membosankan juga membuat kepala pusing. Menurutku saja.

Aku memutar bola mataku, melirik aktivitas teman sekelasku. Ada yang tidur, ada yang sambil mendengarkan musik, ada yang sibuk ngaca, ada yang tidak fokus mendengarkan malah ngegosip, ada yang sibuk main surat-suratan dan berbagai macam aktivitas nyeleneh lainnya. Aku menghela nafas, bosan juga rasanya ketika menghadapi pelajaran yang tidak kita sukai.

Tanpa terasa jam makan siang telah tiba, setelah mendengar bunyi bel yang sangat nyaring. Aku dan Kania bergegas menuju kantin.

Aku duduk di bangku kayu panjang, karena Kania yang berinisiatif memesankan makanan untukku. Aku mengedar pandangan ke berbagai penjuru kantin, tatapan mataku berhenti pada satu titik. Dimana Arfaaz terlihat berkumpul bersama temannya. Aku segera menatap ke hal lain, takut Arfaaz menyadari kehadiranku. Jarak kursi yang ku duduki cukup jauh, terhalang dari siswa lain yang tengah duduk di kantin.

Aku menghela nafas pelan, setelah kejadian kemarin. Aku masih malu bertemu dengan Arfaaz. Bukan karena apa, hanya saja aku tipe orang yang tingkat gengsinya begitu tinggi nilainya.

"Ehem!" suara bariton yang sangat ku kenal terdengar tepat di telingaku. Aku menoleh, menatap canggung ke arah Arfaaz. Pandangan kita bertemu, dengan jarak yang cukup dekat. Membuat jantungku seakan mau lompat dari tempatnya.

"Kenapa tidak menyapaku?" tanya Arfaaz dengan senyuman khasnya.

"Aku tidak melihatmu," aku tertawa garing meski tidak ada yang lucu. Itu hanya alasanku saja, aku sebenarnya tidak ingin menyapanya. Malu dengan kejadian kemarin.

"Oh," sahut Arfaaz ber oh ria dan duduk di sampingku.

"Kamu sepertinya suka banget dengan coklat yang ku beri kemarin, kalau suka aku siap belikan lagi kok," Arfaaz tertawa renyah melihat kegugupanku.

"Aku...aku....hanya...ingin mencobanya...apa yang salah?" ujarku kemudian. Jaim di depan Arfaaz.

"Hmm, bilang saja kamu suka? Iya kan?" Arfaaz mendekat ke arahku, jarak kita sangat dekat hanya beberapa centi saja. Aku gugup dan perlahan menjauh dengan menggeser bokongku.

"Hei, kenapa?" Arfaaz meraih tanganku tanpa permisi.

"Kalau kamu suka, aku akan belikan yang banyak. Tapi ingat, jangan marah lagi ya?! Love you," ujarnya membisikkan kalimat itu tepat di telingaku, seketika wajahku merah merona karenanya, aku langsung tersenyum. Arfaaz perlahan menjauh dari tempatku, namun tetap duduk di sampingku.

"Gimana? Udah selesai PR matematikanya?" tanya Arfaaz mengalihkan topik ke hal lain, netranya melirik sekilas ke arahku. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum.

"Iya, tadi di bantuin Candra," sahutku, ekpresi wajah Arfaaz mendadak berubah masam. Aku menyadarinya, seketika aku sangat merasa bersalah telah menyebut nama laki-laki lain di depannya. Ku yakin dia pasti sangat cemburu.

"Maaf," ujarku kemudian. Arfaaz melirikkku sekilas.

"Kenapa minta maaf? Kamu gak salah apa-apa kok," sahut Arfaaz mencoba tersenyum, tapi tetap tak bisa menutupi rasa tidak senangnya. Kania kembali dan menatap heran ke arah kami berdua.

Bu Marti datang membawa nampan yang di atasnya tersusun rapi dua mangkok bakso serta dua gelas es teh pesanan kami. Lantas kembali ke tempatnya semula.

Arfaaz dengan iseng mengambil sendok dari tanganku, lalu menyendok satu bakso kecil ke mulutnya. Lalu mengembalikan sendok ke tanganku kembali.

"Euonak," sahutnya seraya mengunyah bakso di mulutnya, terkesan berantakan sekali logatnya karena makan sambil bicara. Aku menahan tawa melihat tingkah Arfaaz.

"Anggap tadi kita berciuman, kan tadi bekasku di makan kamu," ujar Arfaaz tertawa dengan perkataannya sendiri.

Aku tergelak mendengar perkataan Arfaaz, Arfaaz mengedipkan mata ke arahku, lalu pergi dan kembali berkumpul dengan temannya.

Aku segera mengambil lontong yang tersedia pada loyang plastik di hadapanku dan membukanya. Lalu ku masukkan ke dalam mangkok bakso yang telah ku aduk dengan saos sambal dan kecap sebelumnya.

Kania melemparkan pandangan ke arahku. Aku hanya melirik sekilas, memilih tidak peduli dengan tatapan Kania yang terkesan tidak suka, menurutku.

TBC

Dipublikasikan pada tanggal 25 Januari 2021

@tansah.elingdd

Barisan Para MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang