part 2

38 9 4
                                    

No copy paste! Hargai sesama penulis!

Jam setengah enam, aku sudah bersiap-siap akan berangkat ke sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam setengah enam, aku sudah bersiap-siap akan berangkat ke sekolah. Setelah puas mematut di depan cermin, aku segera melangkah keluar kamar menuju meja makan. Disana tampak kak Fariz, Ibu, bapak dan Zea.


"Bucin," sindir Zea menatap ke arahku, aku diam saja. Tak menggubris perkataanya. Aku segera menarik kursi untuk diriku dan menyendok nasi serta lauk pauk yang tersedia di meja makan.

Bahkan dengan santainya aku menyantap makananku tanpa memedulikan tatapan Zea terhadapku.

Setelah selesai, aku berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Aku segera melangkah dengan pasti, berjalan menuju ke arah jalan raya. Jarak tempuhku, sekitar sepuluh meter dari depan gang.

Aku telah sampai, sekarang aku berdiri di trotoar jalan. Menunggu bis disana, Zea memang tidak berbarengan denganku. Sekolah Zea agak jauh, jadi dia di antar kak Fariz setiap harinya menuju sekolah. Karena sekolahku lumayan dekat dari rumah, jadi ku putuskan mengalah saja. Biar Zea saja yang di antarkan kak Fariz. Meskipun kami sering bertengkar, namun sejatinya antara aku dan Zea saling menyayangi.

Beberapa menit aku menunggu, namun belum tampak bis satupun lewat di hadapanku. Cuaca cukup cerah hari ini, matahari perlahan menampakkan sinarnya. Kakiku mulai lelah berdiri, keringat mulai membasahi pelipisku.

"Menunggu memang melelahkan," pikirku.

Setelah aku menunggu cukup lama, bis yang di tunggu pun datang. Bis pun berhenti di hadapanku, aku segera memasuki bis. Lumayan padat, di kanan kiriku sudah banyak orang. Berdesakan memang, di pagi-pagi seperti ini memang begitu banyak orang yang akan beraktifitas ke sekolah, ke kantor, dan berpergian. Aku berdiri, dengan cekatan tanganku memegang erat handle pegangan bus agar tidak terjatuh. Bus perlahan menjauh, melewati gedung-gedung tinggi, perkantoran, dan gedung lainnya. Tatapanku fokus ke depan. Tanpa sengaja aku melihat Candra di depan mataku, laki-laki itu menoleh, tersenyum ke arahku. Dia berdiri dan menghampiriku.

"Kamu duduk di sana saja," ujarnya menghampiriku, menunjuk tempat yang tadi sempat di duduki olehnya. Aku menurut, kakiku mulai pegal rasanya berdiri terus. Setelah duduk, Candra yang menggantikan tempatku. Aku menoleh ke arahnya. Kasihan. Dia tersenyum lagi ke arahku. Memberi isyarat bahwa dia tidak apa-apa.

Akhirnya kami berdua sampai di depan sekolah. Setelah membayar ongkos kepada kernet bus, akhirnya aku dan Candra turun bersama.

Candra berjalan lebih cepat dariku.

"Terima kasih Candra," ucapku kepadanya, dia sempat menoleh lalu melangkah ke dalam kelasnya.

Aku melangkah dengan cepat, karena sebentar lagi bunyi bel masuk kelas akan segera berdering. Aku sampai di kelas saat bel berdering keras. Semua siswa dan siswi telah masuk kelas masing-masing.

Aku dan siswi lainnya tengah sibuk dengan pelajaran, mendengarkan keterangan Ibu Zalfa yang menerangkan tentang matematika.

Tak terasa jam istirahat tiba.

KRINGGGGGGG.....

Bel istirahat terdengar nyaring, aku menghambur menuju kantin sekolah bersama Kania, sahabatku. Kami mengantri bersama, sambil menunggu antrean panjang, aku sibuk bermain ponsel di tanganku. Tiba-tiba Arfaaz menarik tanganku, aku mengikuti langkahnya.

"Kamu duduk di sini saja, Inara," ujarnya penuh perhatian. Tangannya mendorong pelan tubuhku pada kursi kantin. Aku menurut. Tersenyum ke arahnya.

"Biar aku saja yang antri. Kamu mau pesen apa?" tanyanya penuh perhatian dan kelembutan.

"Mie ayam," sahutku. Mendengar perkataanku Arfaaz segera melenggang pergi, mengantri di sana. Menggantikan posisiku. Ku lihat dia sempat berbicara kepada Kania. Entah apa yang di bicarakannya. Mereka tampak tertawa bersama. Aku tidak mendengar apa yang tengah di bicarakan keduanya, karena jarak antara kursi yang di duduki olehku agak jauh.

Aku mulai tak tenang, menatap penuh curiga terhadap Kania dan Arfaaz. Dalam pandanganku, mereka saling melempar canda serta tawa, aku tidak tahu mengapa aku sangat curiga melihat kedekatan keduanya. Aku memang terlalu posesif dalam menjalani hubungan. Aku bahkan terkesan pencemburu sekali jika menyangkut kedekatan Arfaaz dengan perempuan lain. Entah itu sahabatnya, teman, bahkan temanku sendiri aku sangat cemburu rupanya. Bukan karena apa, menurutku persahabatan antara laki-laki dan perempuan pasti akan menimbulkan rasa. Karena tidak ada ceritanya kedekatan antara laki-laki dan perempuan yang akan biasa saja.

Arfaaz kembali, menaruh pesanan di mejaku.

"Di makan ya sayang," ujarnya menaruh mangkuk mie ayam serta es teh di mejaku. Aku tersenyum sebagai balasannnya. Arfaaz duduk bersebelahan denganku, kami bertiga.
Arfaaz duduk di sampingku, sementara Kania berada di hadapanku.

Kami sibuk dengan memakan makanan yang tersaji.

"Ar, kamu perhatian banget sama Inara. Duh, kenapa gue jadi yang baper ya?! Pengen punya cowok kayak gitu," ujar Kania. Aku melirik ke arah Kania. Antara Arfaaz dan Kania saling melempar senyum satu sama lain.

"Makanya cari cowok yang kayak gue," sahut Arfaaz menimpali perkataan Kania.

"Ganteng, perhatian, manis senyumnya dan yang penting setia," lanjut Arfaaz membanggakan dirinya sendiri. Kania terlihat sebal dan menjitak kepala Arfaaz di hadapanku.

"Idih! Kepedean banget lu," balas Kania tertawa. Aku menghentikan gerakan makanku, menatap ke arah keduanya penuh tanda tanya. Arfaaz dan Kania seketika terdiam. Mereka berdua sibuk mengunyah makanan pesanannya kembali.

Selesai sudah, aku dan Kania melangkah masuk kelas kami. Sementara Arfaaz masuk ke kelasnya. Arfaaz adalah kakak kelasku, dia sudah kelas tiga SMA, sementara aku masih kelas dua SMA. Hanya berbeda usia satu tahun aku dengannya.

Kami sampai di kelas. Aku dan Kania menuju bangku kami, aku memang sebangku dengan Kania. Kami sangat dekat sekali, bahkan aku sudah menganggapnya layaknya saudaraku sendiri. Persahabatan kami sudah terjalin sejak lama, dia sahabat SMP ku. Banyak hal yang ku lalui bersamanya. Suka, duka, sedih, senang, dan tertawa bersama.

"Arfaaz itu sukanya apa sih?" tanyanya kemudian kepadaku. Reflek aku menoleh, menatapnya tajam. Kania terdiam, mungkin ia telah salah bicara.

"Aku cuma ingin membalas kebaikannya, dia pernah nolongin aku waktu itu," ucapnya pelan, Kania berusaha menjelaskan, mungkin agar aku tak salah paham mengartikannya. Aku mengernyit, melirik ekpresi wajah Kania yang salah tingkah di hadapanku.

"Tanya sendiri ke orangnya, apa yang di sukai. Kenapa harus tanya sama gue!" sahutku ketus. Kania merasa bersalah. Aku bahkan saking kesalnya sampai berkata 'Elu, gue'

"Aku cuma ingin membalas kebaikannya aja kok, kamu jangan salah paham," ujar Kania menatapku.

"Iya aku paham kok, aku gak jealous sama sekali," ujarku pelan. Mencoba tersenyum. Pada kenyataanya, ucapan dan hatiku sangat tidak sinkron, aku memang mengatakan baik-baik saja. Terkesan tidak peduli, tapi tidak dengan hatiku. Ada rasa kejengkelan di sana, aku menahan sekuat tenaga untuk tidak marah. Tapi semakin aku menahannya, hatiku terasa sakit sekali, seperti ada duri menancap di sana. Aku terdiam cukup lama. Menenangkan hatiku, mungkin aku jangan berpikiran negatif lebih dulu. Tidak baik berprasangka buruk bukan?! Pikirku menenangkan diriku sendiri.

TBC

Dipublikasikan pada tanggal 15 Januari 2021

@tansahelingdd

Fb: nania cembara

Barisan Para MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang