Bagian 15

11 2 0
                                    

Terima kasih yang sudah mampir ke ceritaku ya....jangan lupa Vote dan comment🤗

Mohon untuk tidak copy paste!!! Hargai sesama penulis!!!!

Inara berganti pakaian senam yang dipakainya tadi dengan pakaian putih abu-abu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Inara berganti pakaian senam yang dipakainya tadi dengan pakaian putih abu-abu. Setelah itu, dengan gesit Inara memasukkan baju bekas senamnya ke dalam plastik bening. Inara membuka pintu toilet, sesekali merapikan pakaiannya.

Gadis itu berjalan perlahan, tatapannya mengedar ke berbagai arah. Memperhatikan suasana lalu lalang siswa dan siswi yang tengah melewati koridor kelas, Inara tanpa sengaja memperhatikan sosok lelaki yang dikenalnya tampak mencari sesuatu. Inara mengernyit, dan bertanya dalam hati. Apa yang dicari Arfaaz?

Meskipun penasaran, Inara lebih memilih tidak bertanya apapun pada pemuda itu. Inara malah ingin melarikan diri dari sana sebelum Arfaaz menyadari keberadaannya.

Inara melangkah mundur, gadis itu membalikkan tubuh. Sebelum melangkah lebih jauh, langkahnya terhenti karena seseorang mencekal tangannya. Inara menoleh, tatapannya berubah kesal melihat Arfaaz berdiri didepannya.

"Mau kemana?" Tanya lelaki itu, tatapannya penuh intimidasi. Seakan makhluk dihadapannya ingin ia telan mentah-mentah. Inara tak menjawab, ia malah sibuk memandang ke arah lain, menghindari bertatap muka dengan mantan kekasihnya. Perasaan Inara masih kesal mengingat kejadian tadi pagi, dimana Arfaaz tengah asik bercanda dengan teman perempuannya.

"Jawab Inara," desak Arfaaz mulai geram karena Inara tidak menjawab pertanyaannya.

Inara mendongak, menatap manik mata Arfaaz seakan menantang laki-laki.

"Terserah aku, mau kemanapun aku pergi. Bukan urusan kamu!" sungut Inara, ada nada kemarahan disana. Entahlah, apakah masih pantas Inara cemburu sedangkan ia dan Arfaaz tak terikat hubungan apapun.

"Salahku apa? Kok kamu marah-marah sama aku?" Arfaaz bingung dengan sikap Inara yang gampang berubah-ubah.

Inara terdiam cukup lama, tak tahu harus menjawab apa. Kalau dipikir-pikir Arfaaz tidak punya kesalahan apapun padanya, salahkan dirinya yang masih menyimpan rasa kepada pemuda itu. Salahkan dirinya yang cemburu tanpa alasan disaat hubungan mereka telah kandas.

Inara menggeleng dalam diam, Arfaaz yang melihatnya jadi bingung.

"Terus kenapa menghindariku?" Arfaaz mengalihkan pandangan ke arah lain, namun ekor matanya terus mengawasi gerak gerik Inara.

Inara tak ingin menjawab pertanyaan Arfaaz, ia malah ingin segera pergi menjauh, namun langkahnya dihadang langsung oleh Arfaaz.

"Gak boleh pergi," titah Arfaaz bertindak semena-semena.

"Minggir!" Inara yang tak sabaran tanpa sengaja mendorong tubuh Arfaaz hingga laki-laki itu hilang keseimbangan dan jatuh terjengkang. Inara memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur dan berlari kecil menghindari Arfaaz.

"Inara!" Teriak Arfaaz kencang dan menggelegar, tentu saja teriakan Arfaaz mengundang atensi siswa lain. Arfaaz meringis, mengelus-ngelus bokongnya yang menyentuh lantai.

"Sial!" umpat Arfaaz.

_
_
_

Inara turun dari bis dan perlahan melangkah melewati gang rumahnya. Hari ini matahari sangat terik, Inara bahkan beberapa kali mengusap peluh yang menetes didahinya, Inara harus berjalan melewati rumah demi rumah tetangga untuk sampai dikediamannya.

Huft!

Melelahkan juga ternyata, padahal jarak rumahnya hanya beberapa meter dari depan gang, tapi sangat menguras tenaga. Mungkin akibat panas yang menyengat disiang hari, hingga membuat orang cepat lelah.

Inara membuka pintu pagar, tatapan Inara langsung tertuju ke arah Zea dan Tarmi yang tengah sibuk membuka kardus. Entah apa isi kardus itu, yang Inara lihat mereka tampak senang sekali.

"Itu apa?" Inara bertanya sambil menunjuk dengan dagunya.

"Kue bronis kering, tadi dikirim Arfaaz. Baik banget anak itu," puji Tarmi mengagungkan Arfaaz didepannya.

"Paling ada maunya aja," Inara mencibir ketika mendengar Tarmi yang memuji Arfaaz.

"Gak boleh gitu. Suudzon itu namanya," Tarmi langsung membela. Setelah Tarmi selesai membuka kardus, perempuan setengah baya itu menyodorkannya ke Inara.

"Ini kesukaan kamu loh, Inara. Sini makan bareng, entar gak kebagian tahu rasa!" Ujar Tarmi sengaja menggerak-gerakkan bungkusan kue bronis kering tepat didepan wajah Inara. Tentu saja Inara ngiler dibuatnya.

"Sini!" Inara mengambil dari tangan Tarmi dan membuka bungkusan itu dengan perlahan, bagaimanapun coklat adalah makanan kesukaannya.

"Halah, kemaren aja sok-sok an gak mau sama orangnya. Tapi makanannya diembat juga," sindir Zea, tentu saja perkataan Zea membuat Inara berang.

"Siapa yang bilang gitu? Gak usah ngada-ngada deh!" kebiasaan emang Zea ini, mengadu terus kerjaannya.

"Kemarin nih buk, Zea lihat kak Inara nolak kak Arfaaz. Kak Inara jahat banget ya, buk," adu Zea, Tarmi hanya geleng-geleng kepala mendengar penuturan Zea.

"Zea!" bentak Inara. Zea hanya nyengir merasa tak bersalah.

"Ada apa nih ribut-ribut?" Fariz datang menghampiri. Ia lantas mendudukkan bokongnya dikursi, tepat disebelah Tarmi, Zea dan Inara.

"Biasa, Zea ganggu Inara terus. Emang kebiasaan Zea ini. Gak boleh kayak gitu, bagaimanapun juga Inara itu kakak kamu. Yang sopan sama yang lebih tua," ujar Tarmi menasehati Zea. Zea hanya terdiam menikmati kue ditangannnya tanpa mengindahkan perkatan Tarmi.

"Kalau ibuk ngomong itu dengerin! Biar gak ngusilin orang terus!" ujar Inara sengaja menoel telinga Zea.

"Apaan sih, kak!" Zea risih dan menatap Inara nyalang.

"Ada-ada aja kalian berdua," Kak Fariz geleng-geleng kepala. Tangannya ikut mencomot juga kue bronis kering dan memakannya.

"Ini siapa yang ngasih bronis?" Fariz bertanya disela kegiatan makannya.

"Si Arfaaz, tadi habis pulang sekolah ke sini," Sahut Tarmi melirik Fariz.

"Emang baik itu anak," balas Fariz melirik Inara sebentar, Inara merasa tidak nyaman karena topik yang mereka bicarakan adalah mantan kekasihnya.

"Dinikahin sama Inara cocok tuh," Fariz sengaja memancing, Inara langsung tersedak mendengar perkataan Fariz.

"Iya, bagus itu," Tarmi malah mendukung perkataan Fariz.

"Cie...cie...," ledek Zea melirik Inara.

Inara berdiri dari duduknya, setelah makan beberapa bagian bronis yang telah mengisi perutnya. Inara berinisiatif untuk mengganti pakaian sekolahnya karena topik keluarganya tentang Arfaaz sudah terlalu jauh. Emang Arfaaz mau menikahi dirinya?

Tbc
Dipublikasikan oleh TansahElingdd pada tanggal 9 Januari 2024

Barisan Para MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang