Seven: At First Hate

205 68 43
                                    

"Aku gak mau menunggu lagi! Aku sudah berdiri disini setengah jam!"

Ashley mendesah untuk yang keempat puluh sembilan kali. Percayalah, aku menghitungnya. "Tunggulah sebentar lagi, Penny. Dia sudah jauh-jauh datang menjemputmu."

"Aku enggak peduli! Bukan aku yang memintanya menjemputku." Sahutku keras kepala, "Dua menit lagi aku pergi dari sini, Ash. Hidupku sudah cukup terbuang sia-sia di tempat ini."

"Jangan begitu. Kau mau membuat ayahmu semarah apalagi?" tegur Ashley dengan nada lelah, seakan drama keluarga antara Dad dan aku sudah menguras jatah hidupnya. "Lagipula, bagaimana kau bisa pergi dari bandara? Ayahmu membekukan semua uangmu."

"Aku punya uang cash." Dustaku. Terakhir kulihat, uangku cuma tinggal tujuh puluh delapan sen. Tapi kan dia tidak perlu tahu itu. "Cukup bagiku untuk pergi ke klub dan bekerja menjadi stripper."

Ashley menyerocos panjang lebar tapi aku sudah tidak mendengarkan. Selain karena di sekitarku berisik, pidatonya pasti sama saja dengan lusinan pidato yang diucapkannya tiap kali aku mendapat masalah. Tipikal kalimat 'Jangan mengeluh. Kalau kau melihat ke bawah, hidupmu jauh lebih mudah dibandingkan orang lain'. Percayalah, dia memang sekretaris ayahku, tapi aku yakin dia pasti reinkarnasi Mother Theresa. Serius.

Aku melirik jam tangan Rolex-ku, "Cukup sudah. Aku nggak mau menunggu lagi."

"Tunggu!" seru Ashley panik, "Dia sudah di bandara, kok! Dia daritadi mencarimu! Aku sudah bilang kau di depan mesin atm dekat pintu keluar. Kau mengenakan gaun silver dan menenteng koper. Betul, kan?"

"Uh-huh. Dan bilang padanya rambutku ungu." Aku tidak sempat mengganti bajuku sejak berpesta gila-gilaan dengan Chelsea kemarin malam atau pun menghapus make-up ku. Jangankan itu, aku tidak sempat menyisir setengah rambutku. Yang kulakukan sejak diomeli Dad adalah mengepak koperku dan lompat ke taksi pertama yang terparkir di depan hotel. Aku masih ingat tatapan shock si supir saat menatapku--rambut setengah kribo, setengah bergelombang, dan bawah mataku yang hitam karena maskara luntur.

Singkatnya dandananku mirip saudara kembar Joker, tapi aku sudah tidak peduli lagi. 

"Manaaaa diaaa Ashleeeeyyyy," rengekku lagi sambil menoleh kanan-kiri seolah aku tahu wajah cowok itu. Aku mendesah keras, "Berikan nomornya padaku. Biar aku yang tanya langsung dimana si idiot itu."

Seseorang berdehem di belakangku. "Tidak perlu repot-repot. Si idiot itu ada di belakangmu."

Aku meringis. Ups. Awkward.

Dengan senyum manis terplester di wajah, aku menutup telepon dan memutar badanku perlahan.

"Maaf aku tidak bermaks-?! Kau?"

Sepasang mata gelap yang sama dengan yang kutemui di Starbucks menatapku dengan sebelah alis terangkat, "Apa kau memang selalu semanja dan setidaksabaran itu?"

Mulutku menganga lebar. Apa katanya barusan?

"Maaf?"

Ia mendengus, "Memang sudah seharusnya kau minta maaf. Aku tidak berkendara dua jam kesini hanya untuk disebut idiot."

Aku membuka dan menutup mulutku berkali-kali seperti ikan, tidak tahu harus menjawab apa. Ada banyak hal berseliweran di kepalaku. Dari semilyar orang, kenapa bisa dia yang menjemputku? Apa dunia memang sesempit ini?

"A-aku juga gak pernah memintamu menjemputku!" Kataku akhirnya, setengah ling-lung.

Hayden mencondongkan tubuhnya kearahku dan meletakkan sebelah tangannya di telinga, "Tadi kau bilang apa?"

Wanna Be Where You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang