Twenty: Don't Get Caught!

181 63 90
                                    

Aloha! Ini tumben2an aku ngomong di awal karena ada perubahan plot (dikit) wkwk. Di part sebelumnya aku sempet bilang si Greyson itu gabung soccer kan, tapi jadi ga nyambung krn Reed kan ketua tim soccer Lindale dan dia ada di Afrika, masa ada pertandingan dianya ga ada? Jadi aku ganti aja Greyson ga di soccer ya guys, dia di football dan here is his match! Udh sih itu aja! Lol!

🌺

Remy terus menggelengkan kepalanya sementara aku menceritakan kisah kencanku yang gagal dengan Greyson sambil merias wajahku. Ekspresinya terlihat khawatir. Bahkan tatapan matanya seakan menyiratkan bahwa aku butuh konsultasi ke dokter jiwa SEKARANG JUGA sebelum terlambat (a.k.a gak ada yang mau kencan denganku lagi). Kepalanya mungkin sedang membayangkan masa tuaku yang kuhabiskan untuk meneror anak tetangga yang lewat di depan rumah karena aku kesepian. Kalau tidak sedang menjadi nenek tua yang cerewet, aku bisa ditemukan berjongkok di teras belakang, mengobrol dengan dua belas kucingku. Menakutkan bagaimana aku sendiri bisa membayangkan nasibku dua puluh tahun mendatang.

"Remmmyyyy," Rengekku merana, "bagaimana kalau kencan kali ini gagal lagi? Aku harus bagaimana?"

Setelah gagal total main billiard kemarin sore, Greyson mengajakku pergi ke suatu tempat menyenangkan (lagi) usai bertanding melawan Westford High malam ini. Dia bilang kencan kami bakal jadi semacam perayaan. Kalau timnya kalah, dia tidak akan sedih karena aku ada di sisinya. Kalau dia menang, dia akan sangat senang karena aku ada di sisinya. Jadi baginya, apapun hasil pertandingan malam ini, dia tetap akan gembira.

Well, selama tidak ada adegan gegar otak lagi, that is.

Remy mengedikkan bahunya santai, "Menurutku kau bakal baik-baik saja. Greyson sudah terlalu cinta padamu dia gak bakal peduli meskipun kau membakar restorannya."

"Gee, Remy, kau memang sahabat paling pengertian." Kataku, memelototinya. "Beruntung sekali aku berteman denganmu."

Remy tertawa, "Aku serius! Dia gak akan peduli!"

Aku mengabaikannya dan kembali ke moodku semula: Merana. "Menurutmu apa Tuhan di atas sana membenciku?"

"Menurutku seseorang di bumi ini membencimu."

Aku mengerjap, "Serius?"

Remy bersedekap, "Aku heran kau tidak menyadarinya." Hening. Aku menatapnya, menunggu jawaban. Dia menatapku, mengira aku bisa paham apa maksudnya. Setelah dua menit diam, akhirnya dia mendesah, "Penny, kau pasti disantet."

"Disantet?" Tanganku yang sedang mengeriting ujung rambutku terhenti di udara, "Kau pikir ada orang yang sangat membenciku sampai mau memeletku? Di era wifi seperti ini?"

"Duh, sudah pasti. Bukankah tanda-tandanya sudah jelas?" katanya, memoles bulu matanya yang sudah selentik unta dengan maskara waterpoof Dior. "Tidak ada manusia normal yang sial berturut-turut sepertimu. Percaya padaku soal ini, Pen. Aku sudah nonton The Poltergeist sepuluh kali sampai tahu bahwa di luar sana dukun santet benar-benar ada dan bisa menusuk boneka pocongmu kapan pun dia mau."

Right. Karena film horor sangat bisa dijadikan pedoman hidup.

Tapi, setelah direnungkan, sebetulnya dia ada benarnya. "Aku dituduh membakar sekolah padahal bukan sepenuhnya salahku." Mulaiku sambil mengingat-ngingat, "Lalu juga.. aku ditendang ke Kensington dan dijadikan pembantu! Terus kejadian dengan Kyle.. lalu Estelle... dan kemarin.. Astaga!"

Remy mengangguk-angguk suram, "Kau mulai paham, kan?"

"OH MY GOD! Kau benar!" lolongku histeris.

Wanna Be Where You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang