Seharusnya aku sudah bisa menduganya. Tanda-tandanya begitu jelas. Persis di depan mataku.
Mulai dari kakiku yang terbentur pintu saat mau mandi di kamar mandi Remy, lalu juga ketika nyaris kesetrum saat mau mengeringkan rambutku dengan hair dryer. Bahkan kalau diingat-ingat, nasib malangku dimulai sejak aku menginjakkan kaki di atas lubang hidung Chris Daughtry.
Siapa orang di dunia ini yang gak bakal sial setelah melecehkan wajah seseorang, kan?
Kukira menyaksikan teman-temanku menyusun rencana balas dendam kepada Hayden dkk sudah yang terburuk. Tapi aku pun harus ikut terseret dan mesti membeberkan semua yang kuketahui tentang mereka kalau tidak mau dikira tidak loyal terhadap teman-temanku. Teman-teman yang bermain denganku sejak kami masih memakai popok dan bersekolah di tempat yang sama sejak TK.
Kalau dihadapkan dengan pilihan kehilangan Hillcrest atau Lindale, tentu saja jawabannya sudah jelas ya, kan?
Di Lindale aku punya:
a. Remy
b. Chelsea
c. Segudang anak populer/nyaris keren/ biasa saja yang mendukungku dan gak bakal melempar anggur ke jidatku.
Di Hillcrest aku punya:
a. -
Tapi kenapa, kenapa rasanya seakan aku bakal menyesalinya? Seakan aku sudah melakukan sesuatu yang fatal dan aku bakal kehilangan segalanya? Padahal tidak ada apapun yang tersisa untukku di Hillcrest.
Aku yakin setidaknya di Timbuktu aku gak bakal galau seperti ini. Mungkin yang terbaik memang mengepak koperku ke Afrika dan membuka lembaran baru disan--
"Kau oke? Kau tampak sedikit..." Greyson menunduk supaya bisa mengamati wajahku lebih jelas, "kurang sehat."
Kurang sehat terdengar begitu halus. Aku menatapnya, "Maksudmu terguncang?" Atau nyaris gila. Nyaris gila kayaknya lebih pas.
Dia tersenyum, "Itu juga."
Aku meletakkan daguku di sebelah tangan, memperhatikan teman-temanku yang sedang membuat timeline balas dendam. Di sisi ruangan yang lain Adam Connor dan Jesse Salpietro sedang mencorat-coret poster anak-anak Hillcrest, membuatnya terlihat sejelek mungkin. Kujamin mereka akan mengirim hasilnya pada Chelsea supaya sahabatku bisa memilih cowok mana yang pas untuk dijadikan pasangan di malam prom.
Itu pun dengan asumsi dia belum menggaet pacar baru di Hawaii sana. Atau dimana pun dia berada sekarang. Dia kan gak pernah kehabisan stock cowok. Di antara kami bertiga, Chelsea memang yang paling laku. Remy cuma mengencani cowok-cowok yang tahan diskusi soal pembunuh berantai di kencan pertama sementara aku.. well.. anggap saja cowok itu harus super religius/polos/perjaka/lugu/non-playboy/gak mata duitan kalau mau di acc Dad. Percayalah spesies seperti itu cuma satu di Lindale, dan dia adalah mantan pacarku.
Bukan Jack Gemeinhart, oke? Yang satunya.
"Aku cuma..." aku membasahi bibirku, "..gak suka ide ini. Gak semua anak Hillcrest jahat padaku, tapi rencana Adam tadi malah menargetkan semua orang."
"Semua orang maksudmu Hayden?" Tanya Greyson datar. Ia tidak menatapku ketika menanyakannya.
"Yeah." Kurasakan pipiku memerah tanpa sebab, "T-tapi yang lain juga, kok! Kian, misalnya, dia gak pernah menghinaku macam-macam." Malah dia mendukungku. Dia sendiri bilang aku lebih mending dibanding Estelle.
"Ah, begitu." Ia mengangguk mengerti. Ekspresinya terlihat lebih lega dibanding sebelumnya. "Kau tahu? Menurutku bukan cuma ide ini, tapi permusuhan Lindale dan Hillcrest semuanya konyol. Apa yang merasuki nenek moyang kita dulu sih sampai sebegitu bencinya pada satu sama lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanna Be Where You Are
ChickLitIt's a cliche story: si cewek bertemu si cowok di sebuah pesta. Si cewek mempermalukan si cowok yang ternyata merupakan berandalan terkenal di sekolahnya. Si cewek berharap dia gak bakal pernah bertemu cowok itu lagi--setidaknya sampai si cewek tida...