"Aku gak terima kau sekamar sama dia!"
Dan kukira hidupku tidak akan lebih apes lagi. Tuhan, kau disana? Seakan semuanya belum cukup traumatis, aku juga mesti sekamar dengan nenek sihir?
Well, lebih tepatnya sih sahabatnya nenek sihir. Tapi bisa dibilang aku memang sekamar dengan Estelle a.k.a si gadis kesetrum tadi siang, karena tiap setengah jam sekali dia bakal melongokkan kepala ke kamar untuk memastikan aku belum menggosongkan rambut temannya.
Bukan hanya Ella, seluruh pondok, atau mungkin sejagat raya Kensington kini menganggapku kriminal karena mengkorsletkan seluruh kamp. Benar-benar tidak adil! Coba pikir, mana aku tahu vacuum cleaner tidak bisa digunakan untuk menyedot dvd, kaus dalam, dan bra? Apa mereka pikir aku terlahir dengan pengetahuan spesial tentang penyedot debu?
Yeah, well, jokes on them! Aku seorang Carberra. Dan seorang Carberra tidak pernah menyedot debu. Tanya saja Reed. Atau Dad. Aku jamin mereka bahkan tidak tahu apa itu vacuum cleaner.
Kalau kau tanya aku, ini semua salah Ella. Mestinya sebelum mempromosikanku menjadi budaknya yang bisa disuruh-suruh, ia mengajariku dulu cara menggunakan vacuum keparat itu!
"Hati-hati Ari. Jangan lupa menaruh merica di bawah bantalmu. Siapa yang tahu apa yang bakal kriminal itu lakukan padamu malam nanti?" Desis Estelle pedas.
Aku tidak tahan lagi. "Mungkin kau yang harus hati-hati, Estelle." serbuku kesal. "Mungkin nanti malam kriminal itu bakal menyusup ke kamarmu dan membabat habis rambutmu."
Estelle terkesiap. Ia sontak mengangkat kedua tangan ke rambutnya protektif. "Jangan berani-berani!"
"Kenapa? Aku cuma mau membantu teman sekamarku." Kataku, menyunggingkan senyum palsu pada Arizona yang dibalas dengan pelototan mata. "Kalau kau botak, temanmu tidak perlu mencatokmu untuk yang ke... berapa, tujuh belas kalinya hari ini?"
"Empat." Estelle menggertakkan gigi, "ini baru empat. Dan ini semua salahmu!"
"Memang. Dan tahu tidak?" Aku tersenyum jahat padanya seperti tokoh antagonis di film-film. "Aku sama sekali tidak menyesal."
Aku menyesal sih. Sedikit. Tapi hey, aku sudah minta maaf padanya seharian sampai mulutku dower! Aku bukan Sidharta Gautama yang super sabar, oke?
Estelle memelototiku marah, "Dasar psikopat!"
"Oh wow, itu yang orang-orang bilang di sosmed setelah aku ketahuan membakar sekolah." Aku mengerjap-erjapkan mata biruku polos, "Jangan bilang kau stalk instagramku!"
Estelle ternganga. Ia membuka dan menutup mulutnya berkali-kali, tampak bingung harus menjawab apa. Akhirnya ia menjerit.
"Ugh! Awas kau! Aku akan membalasmu!" Estelle bangkit berdiri dan memasukkan barang-barangnya yang berserakan di atas kasur Arizona dengan kesal. Ia menoleh pada temannya sembari menyampirkan tas ke bahu. "Ayo Ari, kita ke kamarku. Jangan dekat-dekat orang gila itu."
Aku mengacungkan jari tengah padanya tapi dia sudah keburu berbalik keluar. Arizona menghembuskan napas dramatis sambil memasukkan alat-alat make-up nya ke dalam koper kecil tanpa berkata apa-apa. Setelah selesai, ia mengekori Estelle ke kamar sebelah.
Bagus. Freaking finally. Akhirnya aku bisa menikmati waktuku sendirian.
Aku melempar diriku ke kasur, tergeletak seperti orang koma.
Holy shit. Aku tidak akan bisa tinggal disini dalam dua bulan dan tetap waras. Gak. Bakal. Bisa.
Kalau percakapan menyenangkan tadi bukan bukti tentang betapa asiknya hidupku dalam dua bulan ke depan, aku tidak tahu harus menjelaskan apalagi. Aku harus kabur. Secepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanna Be Where You Are
Chick-LitIt's a cliche story: si cewek bertemu si cowok di sebuah pesta. Si cewek mempermalukan si cowok yang ternyata merupakan berandalan terkenal di sekolahnya. Si cewek berharap dia gak bakal pernah bertemu cowok itu lagi--setidaknya sampai si cewek tida...