Jeff si pemotong rumput a.k.a kakek-kakek delapan puluh tahun yang anunya kuintip di kamar mandi ternyata reinkarnasinya Joseph Stalin. Kukira Hayden sudah yang terparah, tak kusangka ada yang jauh lebih bossy dan komunis dibandingkan dia.
"Potong lagi!" raungnya, "Yang disitu rumputnya masih panjang! Tingginya belum sama!"
Beginilah krisis paro baya dimulai. Kau bakal histeris cuma karena rumput yang kau injak-injak tingginya tidak simetris.
Aku merangkak kembali ke rumput yang ditunjuk Jeff dan kupotong lagi dengan penuh nafsu, "Sudah, nih! Kalau kupotong lagi rumputnya bakal botak!"
"OK! Sekarang yang disana!" Jeff menunjuk sisi lapangan yang lain sambil memegangi kumis putihnya. "Babat habis rumput liar itu sampai rapi!"
Babat lagi? Apa dia gila? Aku sudah merangkak kesana kemari selama dua jam sampai tanganku kapalan dan dia masih mau menyuruhku memotong rumput keparat itu lagi?!
"Tidak mau! Aku capek!" Tubuhku tergeletak tak berdaya di atas rumput, menunggu ambulans untuk menggotongku di atas tandu. Kaki tanganku pegal dan seluruh tubuhku kesakitan. Kalau dokter memeriksa kondisiku yang sekarat ini, pasti aku langsung dimasukkan ke ICU.
"Sedang apa kau?! Malah malas-malasan?!" Jeff menunduk dan berkoar-koar di depan mukaku sampai air liurnya muncrat kemana-mana.
Aku menghapus air penuh kuman itu dari pipi. "Aku capek, oke? Kau memperbolehkan Dylan," peserta kamp lain yang nasibnya sama tragisnya denganku siang ini, "memotong rumput dengan mesin sementara aku pakai gunting!" Kuangkat gunting rumput seberat setengah kilo ke depan mukanya. "Aku ini cewek!"
Jeff mendengus, "Sayang sekali, kid, di zamanmu ini sudah ada yang namanya kesetaraan gender."
"Well!" protesku, "Ini tidak adil! Aku akan mengadukanmu pada Komisi Perlindungan Anak bahwa kau diktator sinting!"
Jeff memutar matanya, "Sinting karena memilih cowok pincang menggunakan mesin pemotong rumput dibanding kau?"
Dylan pincang? Aku menoleh ke sisi terjauh lapangan dan, untuk pertama kalinya, benar-benar memperhatikan. Benar saja—Dylan terlihat kelimpungan saat mendorong mesin rumput berisik itu. Tapi anehnya dia terlihat senang. Bahkan cowok kurus itu bersiul gembira seakan tak ada lagi hal yang lebih mengasyikkan di dunia ini dibandingkan mendorong mesin pemotong rumput kesana-kemari.
Kasihan. Dia pasti sudah stress.
"Well.."
"Apa lagi? Jangan banyak alasan! Potong rumput disana itu! SEKARANG!" Jeff meraung di depan wajahku lagi, mengirimiku tsunami air liur.
Damn him! Dengan terpaksa aku menyeret bokongku ke sisi lapangan yang ditunjuknya, bekerja rodi sampai tulang-tulangku rontok semua. Damn Jeff dan semua orang yang ada di Kensington. Damn Dad karena menendang bokongku ke kamp penjajahan ini. Damn Hayden karena...
"Hei, Jeff."
Oh My God. Dia disini.
Di dalam bayanganku, kalau aku bertemu Hayden lagi, aku akan tampil percaya diri dengan rambut pirangku yang cantik dan berlagak seakan aku gadis keren yang tidak terpengaruh dengan kehadirannya. Orang keren jelas tidak membuang waktunya memelototi langit-langit semalaman memikirkan harus bersikap bagaimana kalau seandainya bertemu lagi dengan cowok yang dituduh menggerayangimu di depan seisi kamp.
Tapi beginilah aku sekarang—boro-boro keren, mukaku malah dekil karena make-up luntur dan rambut awut-awutan, berjongkok sambil memegang gunting rumput.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanna Be Where You Are
Literatura FemininaIt's a cliche story: si cewek bertemu si cowok di sebuah pesta. Si cewek mempermalukan si cowok yang ternyata merupakan berandalan terkenal di sekolahnya. Si cewek berharap dia gak bakal pernah bertemu cowok itu lagi--setidaknya sampai si cewek tida...