Four: Well, That's Awkward

205 67 46
                                    

Gawat.

Aku tidak bisa diam disini lagi. Aku harus pergi, kabur sejauh-jauhnya dari New York. Mungkin ke Itali, Paris, atau LA. Kudengar seorang fotografer disana sedang mencari model. Mungkin ini saatnya memamerkan lekuk tubuhku. Maksudku, aku kan tidak ikut kelas fitness sampai encok hanya untuk mengenakan legging dan t-shirt!

Oke. Aku mulai meracau. Artinya, aku benar-benar histeris.

Konsentrasi, Penelope. Kata-kata instruktur yogaku merasuk masuk ke kepalaku secara tiba-tiba. Lepaskan semua pengaruh buruk dari luar. Biarkan jiwa murnimu memegang kendali. Raihlah kebahagiaan yang hakiki.

Jiwa murniku. Benar. Itu dia.

Aku menarik napas dalam-dalam, menunggu jiwa murniku mengambil alih. Setelah lima menit bengong di balik kemudi, aku memang merasa lebih baik.

Dad pasti sedang mengalami krisis paro baya dan jadi ling-lung. Semua ini hanya efek sementara dari jiwanya yang masih terguncang akan kejadian kemarin. Paling sebentar lagi mata batinnya akan terbuka dan dia bakal menyadari betapa kasar sikapnya padaku selama ini. Aku yakin takkan butuh waktu lama sampai Dad meneleponku, memohon maaf. Saking bersalahnya, mungkin dia sekalian menawariku jam Rolex terbaru sebagai hadiah atau mungkin tiket tur ke Eropa? Lalu sebagai anak yang baik, aku akan memaafkannya, karena aku kan bukan pendendam.

Aku menggelengkan kepala geli, merasa tolol karena sudah histeris seperti tadi.

Sambil menyetir, aku menyalakan ponsel dan seketika itu juga ratusan pesan membanjiriku. Ponselku sampai tidak berhenti berdering. Kebanyakan berasal dari teman-teman yang lingkaran sosialnya sama denganku-populer. Isi pesan mereka tidak jauh dari 'Kau oke?' atau 'Katanya kau yang membakar ruangan Si Jacob? Wtf?!'

Tak ada satu pesan pun dari Jack. Melihat fotonya yang kupasang sebagai wallpaper-ku membuatku mual, entah karena melihat tampang Jack memang sering menimbulkan reaksi seperti itu atau karena dialah kulprit yang menyeretku ke lubang neraka ini.

Belum selesai aku menyortir pesan, ponselku sudah berdering lagi. Nama Chelsea berkedap-kedip di layar.

"KAU MASIH HIDUP?" Semburnya langsung sebelum aku sempat menempelkan ponsel ke telinga.

Aku bersiul, "Hello to you too."

"What the heck, Pen?! Aku sudah meneleponmu dua ratus kali! Rasanya yang kulakukan sejak kemarin hanyalah memencet nomormu dan menyumpahi nada sambung!" Aku bisa membayangkannya menekan ponsel ke telinga sambil menghisap inhaler, sesuatu yang selalu ia lakukan tiap kali merasa histeris.

Hatiku sontak diliputi perasaan bersalah. "Sori. Hanya saja...ugh, darimana aku harus memulai? Ceritanya panjang, oke?"

"Aku gak kemana-mana, kok. Dan kau berutang penjelasan padaku." katanya defensif, "Kau harus memberitahuku kenapa si Stephanie bilang ke semua orang kau dikeluarkan. Ceritakan semuanya. Sedetail mungkin. Now."

Akhirnya aku menceritakan semuanya dari awal, termasuk bagaimana Jack dan aku putus setelah semua yang kulakukan untuknya (yang ditimpalinya dengan 'motherfucker!'), bagaimana aku digiring polisi dan dikeluarkan dari sekolah (dia menangis sesenggukan, 'Gimana aku dan Remy melewati tahun seniorku tanpamu?!'), juga bagaimana Dad memutuskan untuk memindahkanku ke Hillcrest dan menendang bokongku ke kamp-hanya-Tuhan-yang-tahu-dimana supaya aku bisa seperti Ghandi atau Dalai Lama.

"Gawat banget!" Terdengar suara Chelsea membuang ingusnya dengan tisu. "Kayaknya kita bertiga butuh hangout deh sekalian menyusun rencana penyelamatanmu. Gimana kalau kau dan Remy ikut aku liburan ke Hawaii?"

Wanna Be Where You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang